Global Variables

Rabu, 25 April 2012

POLA IJTIHAD ULAMA FIQH TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH SISTEM IJTIMA’

POLA IJTIHAD ULAMA FIQH TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIYAH SISTEM IJTIMA’

A.    Pendahuluan
Persoalan hisab rukyat yang ada di Indonesia merupakan suatu persoalan yang unik dan sangat menarik dikaji. Hal tersebut dikarenakan adanya suatu polemik yang selalu muncul yang kemunculan polemik tersebut merupakan dampak dari permasalahan hisab dan rukyah yang masih belum bisa dipadukan. Antara golongan yang satu dengan yang lain saling menggugat terhadap metode yang mereka pakai dan juga hasil keputusan yang telah mereka sepakati.
Dikatakan unik karena munculnya polemik tersebut hanya terjadi pada saat-saat tertentu, yakni pada saat penentuan bulan-bulan yang berkaitan erat dengan taklif ibadah. Selain itu, persoalan ini dikatakan sangat menarik dikarenakan adanya perbedaan dalam masalah ibadah terutama dalam memulai dan mengakhiri ibadah Puasa maupun ibadah Haji.
Ahmad Izzuddin mengatakan dalam bukunya yang berjudul Ilmu Falak Praktis “Berbeda  dengan  persoalan  hisab  ru’yah  lain,  persoalan  dalam  hal  penentuan  awal  Bulan  Qomariyah , terutama  bulan  Ramadhan, Syawal,  dan  Dzulhijjah,  yang  sering  kali  memunculkan  adanya  perbedaan,  yang  mengakibatkan  adanya  permusuhan”[1].  Karena  kaitannya  dengan  masalah  memulai  dan mengakhiri  puasa  Ramadhan,  dan ibadah  Haji, kiranya  wajar  jika  persoalan  hisab  ru’yah  ini  mendapat  perhatian  lebih  dibanding  dengan  persoalan  hisab  ru’yah  yang  lain.  Sehingga persoalan ini  selalu  muncul  ke  permukaan  wacana  perbincangan  dan  perdebatan  dalam  kalangan  ulama’  di  saat  menjelang awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah[2].
Persoalan hisab ru’yah awal bulan qomariyah ini pada dasarnya sumber pijakannya adalah hadist-hadist hisab ru’yah[3].seperti:

Para ulama’ berbeda pendapat dalam memahami zahir hadis-hadis tersebut, ada yang berpendapat bahwa penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dhulhijjah harus didasarkan pada ru’yah atau melihat hilal yang dilakukan pada tanggal 29-nya.
Apabila ru’yah tidak berhasil dilihat, baik karena hilal belum bisa dilihat atau mendung, maka penentuan awal bulan qamariyah harus berdasarkan istikmal, yakni menggenapkan jumlah hari dalam bulan tersebut menjadi 30 hari.
Ada juga yang berbeda pendapat bahwa ru’yah dalam hadis-hadis hisab ru’yah tersebut termasuk ta’aqquli ma’qul al ma’na. Jadi kata ru’yah dapat diartikan dengan mengetahui sekalipun bersifat zanni tentang adanya hilal, kendatipun tidak mungkin dilihat misalnya berdasarkan hisab falaki. Inilah yang dipakai Madzhab Hisab[4].
Disamping ada juga pendapat yang berupaya menjembatani kedua madzhab tersebut, dalam hal ini seperti pendapat al-Qolyubi yang mengartikan  ru’yah dengan “imkanurru’yah” (posisi hilal mungkin dilihat). Dengan kata lain yang dimaksud dengan ru’yah adalah segala hal yang dapat memberikan dugaan kuat(zanni) bahwa hilal telah ada di atas ufuk dan mungkin dapat dilihat[5].
Disamping hadist-hadist hisab ru’yah tersebut, ikhtilaf yang timbul itu juga dikarenakan adanya perbedaan metode atau system yang dipakai,salah satunya yaitu system Ijtima’.
Untuk lebih mempermudah dalam mengkaji masalah ini, maka akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikut. 
B.     Pembahasan 
1.      Sistem Penentuan Awal Bulan Qamariyah 
Penentuan awal bulan qamariyah sangat penting artinya bagi segenap kaum muslimin, sebab banyak macam ibadah dalam islam yang pelaksanaannya dikaitkan dengan perhitungan bulan Qamariyah. Di antara ibadah-ibadah itu adalah shalat Dua Hari Raya, Puasa Ramadhan, Haji dan sebagainya[6].
Untuk itu syara’ telah memberikan pedoman dalam menentukan perhitungan waktu (penentuan awal bulan Qamariyah), seperti kita lihat dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Pedoman tersebut dalam garis besarnya terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a.      Sistem Ru’yah
Ru’yah secara harfiah adalah melihat. Artinya paling umum adalah melihat dengan mata kepala[7].Sedangkan ru’yah al-hilal adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung di lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan; apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam  itu dimulai tanggal 1 bagi bulan tanggal 30 bulan  baru atas dasar ru’yah al-hilal; tetapi apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tangal 30 bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar istikmal.Berdasarkan Hadits:
Hadits Nabi :
صوموا لرؤيته وافطروا لرؤيته فان غبي عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين (متفق عليه)
Artinya: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Apabila hilal tertutup awan maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”(Muttafuq Alaih)

فإن غم عليكم فاكملوا عدة شعبان ثلاثين
Jika terhalang oleh mendung, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban 30 hari
b.      Sistem Hisab
Hisab menurut bahasa yaitu mengihtung, mengira, dan membilang, sedangkan menurut istilah yaitu perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginan. Apabila hisab ini dalam penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan, maka yang dimaksudkan adalah menentukan kedudukan matahari atau bulan sehingga diketahui kedudukan matahari dan bulan tersebut pada bola langit pada saat-saat tertentu.
Adapun ibadah yang berhubungan dengan waktu, tentunya kita juga tidak bisa lepas dari ilmu hisab. Kita menggunakan Ilmu Hisab untuk mengetahui bagaimana kita harus beribadah, dengan mencari arah kiblat untuk ibadah sholat, sejauh mana awal bulan  itu berlaku ( matla’), darimana saja gerhana dapat dilihat dan lain sebagainya.Tentunya untuk mengetahui itu semua kita harus menggunakan hisab terlebih dahulu.
Dari konsep itulah kami dapat mengambil kesimpulan bahwa ayat-ayat dan hadist yang ada adalah sebagai dalil atau anjuran kepada kita untuk melakukan hisab.
Penentuan awal bulan qomariyah dalam system hisab ini didasarkan pada perhitungan peredaran bulan mengelilingi matahari.
2.      Sistem Ijtima’[8] dalam Penentuan Awal Bulan Qomariyah
Disamping sistem Hisab dan Ru’yah, dalam penentuan awal bulan Qomariyah juga dapat didasarkan pada kapan terjadinya Ijtima’.Berikut penjelasannya;
Mungkin orang akan beraggapan bahwa setiap ijtima’ atau awal bulan qomariyah pasti akan selalu terjadi gerhana matahari, sebab sinar yang datang dari matahari kepermukaan bumi akan terhalang oleh bulan. Keadaan sebenarnya tidaklah demikian, sebab pada posisi ijtima’, matahari, bumi dan bulan tidak selalu pada  satu garis lurus. Pada saat Ijtima’ matahari, bumi dan bulan berada pada satu bidang astronomis yang tegak lurus terhadap bidang orbit bumi[9]  
3.      Pola Ijtihad Ulama’ Fiqh tentang Penentuan Awal Bulan Qomariyah Sistem Ijtima’
Dalam penentuan awal bulan qomariyah pola ijtihad ulama’ fiqih adalah sebagai berikut:
a.      Golongan yang Berpedoman pada Ijtima’ Qobla Ghurub
Golongan ini menggunakan kriteria ijtima’ qobla ghurub sebagai dasar penentuan masuknya bulan baru. Mereka menetapkan bahwa jika ijtima’ terjadi sebelum saat matahari terbenam, maka sejak matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk tanpa mempertimbangkan apakah hilal sudah di atas ufuk atau belum[10]. Pendapat mereka ini didasarkan pada Firman Allah SWT yang terdapat dalam surat Yasin ayat 39 yang berbunyi:
والقمر قدرنىه منازل حتى عاد كالعرجون القديم
Artinya: Dan telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan urjun yang tua.
Atas dasar ini, para penganut madzhab ini mengaggap bahwa batas hari adalah terjadinya ijtima’, bukan fajar dan bukan pula terlihatnya bulan di saat matahari tenggelam pada akhir bulan yang sedang berjalan[11].  Namun demikian, harus dipahami bahwa surat yasin: 39 di atas  hanya memberikan indikasi bahwa pada saat akhir Bulan Qomariyah, bulan akan berbentuk bulan sabit lagi[12]
Sedangkan jika terjadi setelah matahari terbenam, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung. System ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyah. Juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi Ijtima’ walaupun hilal masih dibawah ufuk, maka malam itu sudah masuk bulan baru. System ini lebih menitikberatkan penggunaan astronomi murni.
Dalam astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak matahari dan bulan dalam keadaan konjungsi ( Ijtima’ ) system ini menghubungkan Ijtima’ dengan saat terbenam matahari. Sebab ada anggapan bahwa dalam islam hari dimulai dari terbenam matahari sampai terbenam matahari berikutnya, jadi logikanya menurut system ini bahwa Ijtima’ adalah pemisah diantara dua bulan Qomariyah, namun karena menurut islam hari dimulai terbenamnya matahari maka kalau terjadi Ijtima’ sebelum matahari terbenam, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau Ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian dari bulan yang sedang berlangsung.
Jadi, tolok ukurnya adalah apakah Ijtima’ itu terjadi sebelum tibanya batas hari (saat matahari terbenam) atau sesudahnya.
b.      Golongan yang Berpedoman pada Ijtima’ Qobla Al-Fajri
Golongan ini menghendaki adanya permulaan bulan qomariyah ditentukan oleh kejadian Ijtima’ sebelum terbit fajar. Alasannya karena saat terjadi ljtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian matahari terbenam dan tidak ada dalil yang kuat bahwa batas hari adalah saat matahari terbenam. Menurut system ini jika ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah masuk awal bulan baru, walaupun saat matahari pada malam itu belum terjadi ijtima’. Nampaknya saat ini di Indonesia belum ada para ahli yang berpegang pada Ijtima’ Qobla Al-Fajri ini. Mereka bari mensinyalir adanya pendapat ini yang didasarkan pada peristiwa-peristiwa yang sering terjadi akibat penentuan Hari Raya Haji yang dilakukan oleh pemerintah Saudi Arabia[13]. Yang membedakan madzhab ini dari Madzhab pertama yaitu Ijtima’ Qobla Al-Ghurub adalah: Bila ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar pada akhir bulan yang sedang berjalan, maka sisa malam itu sudah dianggap masuk tanggal 1 bulan berikutnya. Ketentuan ini dianut oleh para penganut Madzhab Hisab Ijtima’ Qobla Al-Fajr, karena angapan bahwa batas hari adalah fajar seperti yang ditafsirkan dari surah Al-Baqoroh: 187 yang berbunyi:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر
Artinya: ........dan makanlah minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Seperti Madzhab sebelumnya, pengertian Madzhab ini akan kacau dan tidak cocok dengan hadist Rasulallah.
Para ahli di Indonesia menilai bahwa jika didasarkan pada perhiatungan hisab, maka system Ijtima’ Qobla Al-Fajriyah yang dijadikan pedoman.
c.       Golongan yang Berpedoman pada Ijtima’ dan Tengah Malam
Kriteria awal bulan menurut aliran ini adalah bila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka mulai tengah malam itu sudah masuk awal bulan, akan  tetapi bila ijtima’ terjadi sesudah tengah malam, maka malam itu  masih termasuk bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan (new moon) dan awal bulan ditetapkan mulai tengah malam berikutnya[14].

KESIMPULAN
     Dalam masalah hisab dan rukyat, Al-Qur’an dan Hadist Nabi. menggarisbesarkan kepada dua bagian, yaitu: Sistem Ru’yah dan juga Sistem Hisab
     Ru’yah al-hilal adalah melihat dan mengamati hilal secara langsung di lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari bulan yang sedang berjalan;
     Apabila ketika itu hilal dapat terlihat, maka pada malam  itu dimulai tanggal 1 bagi bulan tanggal 30 bulan  baru atas dasar ru’yah al-hilal;
     Apabila tidak berhasil melihat hilal, maka malam itu tangal 30 bulan yang sedang berjalan dan kemudian malam berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar istikmal.
     Hisab yaitu perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginan.
     Dalam penentuan awal bulan qomariyah pola ijtihad ulama’ fiqih adalah sebagai berikut: Golongan yang berpedoman pada Ijtima’ qobla ghurub, Golongan yang berpedoman pada Ijtima’ Qobla Al-Fajri dan Golongan yang berpedoman pada ijtima’ dan tengah malam
     Golongan pertama yang menggunakan kriteria ijtima’ qobla ghurub sebagai dasar penentuan masuknya bulan baru, mereka menetapkan bahwa jika ijtima’ terjadi sebelum saat matahari terbenam, maka sejak matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk tanpa mempertimbangkan apakah hilal sudah di atas ufuk atau belum
     Golongan kedua menghendaki adanya permulaan bulan qomariyah ditentukan oleh kejadian Ijtima’ sebelum terbit fajar. Alasannya karena saat terjadi ljtima’ tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian matahari terbenam dan tidak ada dalil yang kuat bahwa batas hari adalah saat matahari terbenam.
     Menurut system ini jika ijtima’ terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah masuk awal bulan baru, walaupun saat matahari pada malam itu belum terjadi ijtima’.
     Kriteria awal bulan menurut aliran ketiga adalah bila ijtima’ terjadi sebelum tengah malam maka mulai tengah malam itu sudah masuk awal bulan, akan  tetapi bila ijtima’ terjadi sesudah tengah malam, maka malam itu  masih termasuk bulan yang sedang berlangsung dan awal bulan (new moon) dan awal bulan ditetapkan mulai tengah malam berikutnya

PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna, namun tidak ada satu manusia pun yang mencapai derajat kesempurnaan. Manusia hanya berusaha untuk bisa lebih sempurna dari sebelumnya, namun Tuhanlah yang menentukan tingkat keberhasilannya. penulis yakin mempunyai banyak kesalahan, tetapi penulis lebih yakin pada kekuasaan Tuhan karena Tuhan tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya menuju arah yang lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
Azhari , Susiknan, Ilmu falak (Penjumlahan Khazanah Islam dan Sains Modern, .  2007.  Cet II, Yogyakarta :Suara Muhammadiyah
______________ Ensiklopedi Hisab Ru’yah cet II. 2008.,Yogyakarta :  Pustaka Belajar
Depag RI.. Almanak Hisab Rukyah, 1981, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam
Izzuddin, Ahmad. Fiqih Hisab Ru’yah, 2007. Jakarta:Erlangga
_______________Ilmu Falak Praktis, . 2006. Semarang: Komala Grafika
Kazin, Muhyiddin,  Kamus Ilmu Falak, 2005, Yogyakarta: Pustaka Buana
Maskufa., Ilmu Falaq, 2009. Jakarta: GP Press
Saksono, Tono. Mengkompromikan Ru’yah dan Hisab, 2007.Jakarta: Amythas Publicita
                   Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah dengan Ilmu Ukur Bola, 1983, Bagian Proyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama:


[1] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Komala Grafika, 2006, hlm. 65.
[2] Ibid 67-68
[3] Ibid 65-66
[4] Ahmad Izzuddin,Fiqih Hisab Ru’yah, (Jakarta:Erlangga, 2007), hlm 4.
[5] Ahmad Izzuddin, Op. Cit, hlm 66-67.
[6]  Depag RI, Almanak Hisab Ru’yah, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), hlm 98.
[7] Susknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Ru’yah cet II ,(Yogyakarta :  Pustaka Belajar, 2008), hlm 183.
[8] Ijtima’ adalah suatu keadaan di mana posisi bumi, bulan dan matahari berada dalam satu garis lurus (bujur astronomi), lihat dalam Muhyiddin Khazin, Kmus Ilmu Falak. (Yogyakarta: buana pustaka, 2005) hlm. 32  .
[9]  Depag RI. Almanak Hisab Rukyah, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam). hlm. 101.
[10] Dra. Maskufa, MA, Ilmu Falaq, (Jakarta: GP Press, 2009),hlm 163
[11]  Tono Saksono, Ph.D, Mengkompromikan Ru’yah dan Hisab, (Jakarta: Amythas Publicita, 2007), hlm 146.
[12]  Yaitu bulan sabit tua, dan ini tidak dinamakan hilal, bahkan tidak ada rujukan dalam al-Qur’an maupun Hadist yang member nama buan sabit tua ini.
[13] Lihat pedoman perhitungan Awal Bulan Qomariyah dengan ilmu ukur bola yang diterbitkan oleh bagian proyek pembinaan administrasi hukum dan peradilan agama: 1983.
[14]   Susiknan Azhari, Ilmu falak (Penjumlahan Khazanah Islam dan Sains Modern Cet II, (Yogyakarta :Suara Muhammadiyah, 2007), hlm 108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar