Global Variables

Rabu, 25 April 2012

PERNIKAHAN

PERNIKAHAN

A.    Pendahuluan
Fitrah makhluk hidup didunia ini adalah ketidakmampuannya untuk hidup sendiri. Untuk itu Allah SWT. menciptakan setiap makhluknya saling berpasang-pasangan, begitu pula dengan manusia. Setiap manusia oleh Allah SWT. dikarunia perasaan kecenderungan terhadap lawan jenisnya.
 Cinta seorang laki-laki kepada wanita dan cinta wanita kepada laki-laki adalah perasaan yang manusiawi yang bersumber dari fitrah yang diciptakan Allah SWT di dalam jiwa manusia, yaitu kecenderungan kepada lawan jenisnya ketika telah mencapai kematangan pikiran dan fisiknya.
Sebagaimana firman Allah SWT.:
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).
Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT. sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia di dunia ini telah mengatur dengan sebaik-baiknya hubungan antara manusia. Demikian pula hubungan antar lawan jenisnya, semuanya telah diatur dengan seksama agar perasaan cinta dan kecenderungan terhadap lawan jenis tidak menjerumuskan manusia kedalam  jurang kenistaan.
Jalinan pernikahan merupakan jalan keluar yang menghalalkan hubungan lawan jenis dalam Islam. Bahkan Rasulullah saw. sendiri melarang keras seorang muslim untuk hidup  membujang. Sebaliknya, beliau menganjurkan dengan sangat pernikahan bagi seorang muslim yang telah mampu melaksanakannya.
Berdasarkan alasan diatas, kami -penulis- didalam makalah ini akan berusaha memaparkan beberapa hadis yang mengandung perintah dan petunjuk bagi setiap muslim dalam melaksanakan pernikahan.
B.     Pengertian nikah
Nikah menurut bahasa adalah ad dhommu wa al wath’u yakni bersenggama atau bercampur[1]. Sedangkan menurut istilah yaitu suatu akad yang mengandung kebolehan untuk melakukan wath’I dengan lafadh inkah atau tazwij.[2]
Djaman Nur mengatakan bahwa Abdurrahman al Jarizi dalam kitabnya al fiqh ‘ala Mazhibil Arba’ah[3] menerangkan bahwa nikah memiliki 3 arti:
1)      Menurut bahasa nikah adalah bersenggama atau bercampur
2)      Menurut ma’na ushuliyah dan ma’na syar’I, terdapat perbedaan dikalangan para ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa nikah adalah bersenggama dan dalam arti majaz adalah akad.
Pendapat kedua mengatakan bahwa nikah adalah akad, sedangkan ma’na majaznya adalah senggama.
Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa nikah adalah musytarak atau gabungan dari akad dan bersenggma.
3)      Menurut ahli Fiqh perkawinan adalah akad yang ditetapkan oleh syara’ bahwa seorang suami dapat bersenang-senang dengan istrinya. Jika masing-masing ulama diteliti lebih mendalam, maka kita akan menemukan perbedaan diantaranya.  Golongan Hanafiyah mengatakan nikah adalah akad yang menfaedahkan memliki, bersenang-senang dengan sengaja. Golongan Syafi’iyah  mengatakan nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan bersenggama dengan lafadz nikan atau tazwij atau yang sema’na dengan keduanya. Golongan Malikiyah mengatakan bahwa nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hukum yang semata-mata untuk membolehkan bersenggama, bersenang-senang, dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh menikah dengannya.
     Dari pengertian diatas, memberikan pemahaman bagi kita bahwa kebanyakan para ulama terdahulu mendefinisikan nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan suami istri tanpa ada penjelasan mengenai tujuan dan akibat dan pengaruh yang ditimbulkannya.
C.    Anjuran Untuk Menikah
Hadits Abdullah bin Mas'ud tentang anjuran untuk menikah
حدثنا أبو بكر بن شيبة, و أبوكريب قالا حدثنا معاوية, عن الأعمش عن عمارة بن عمير عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ  [4]
Diberitahukan dari Abu Bakar bin Syaibah dan Abu Kuraib mereka berkata kami diberitahu sebuah hadis oleh muawiyah dari al-A’mas dari Umaroh bin Umair dari Abdurahman bin Yazid dari Abdullah ia berkata: bersabda kepada kami Rasulullah saw.:”Wahai para pemuda,barang siapa diantaramu telah mempunyai kemampuan dari segi “al-baah” hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan (dari penglihatan yang tidak baik) dan lebih menjaga kemaluan (dari berbuat zina). Dan barang siapa yang belum mampu untuk menikah hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu baginya adalah pengekang hawa nafsu.” (H.R. Muslim)

 الشباب, ialah pemuda yang belum berumur tiga puluh tahun. Tapi menurut Ibnu Syas, belum berumur genap empat puluh tahun.[5]
Nabi menandaskan bahwa siapa saja diantara para pemuda yang mempunyai kesanggupan untuk nikah dan mempunyai penghasilan untuk membelanjai rumah tangga serta berkeinginan hidup berumah tangga hendaklah menikah, tidak boleh hidup membujang. Mereka yang tidak sanggup memelihara rumah tangga, atau tidak  mempunyai kemampuan untuk menikah hendaklah dia berpuasa, karena berpuasa baginya sama dengan mensterilkan diri.
Kata-kata الباءة pada hadits di atas mengandung arti kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin dan kemampuan dalam biaya hidup perkawinan. Kedua hal ini merupakan persyaratan suatu perkawinan. Pembicaraan tentang hukum  asal dari suatu  perkawinan yang diperbincangkan dikalangan ulama berkaitan dengan telah dipenuhinya persyaratan tersebut.[6]
Oleh karena itu berdasarkan dengan term “al-ba’ah” dalam matan hadits diatas para mujtahid menyimpulkan bahwa hukum melakukan pernikahan adalah bisa wajib, sunnah, haram mubah atau makruh.[7]
1.      Wajib
Bagi yang sudah mampu menikah dan nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus kedalam perzinaan, maka hukumnya wajib.

2.       Sunnat
Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan untuk berbuat zina, maka hukum menikah bagi orang tersebut adalah sunnat.
3.      Haram
Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan dan tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban dalam dalam rumah tangga, sehingga akan menelantarkan dirinya serta isterinya maka hukum menikah bagi orang tersebut adalah haram.
4.      Makruh
Bagi orang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja kepada isterinya maka hukum menikah baginya adalah makruh.
5.       Mubah
Bagi seorang laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan atau mengharamkan dia untuk menikah maka hukum menikah baginya adalah mubah. 
Selain berisi anjuran untuk menikah bagi yang telah memenuhi syarat, matan hadis diatas juga mencantumkan jalan keluar bagi orang yang mempunyai keinginan untuk menikah namun belum mampu atau belum memenuhi syarat untuk menikah. Jalan keluar yang diberikan bagi mereka menurut hadis diatas yaitu dengan berpuasa.
Berdasarkan matan hadis diatas fungsi puasa bagi orang yang sudah berkeinginan menikah namun belum mampu adalah sebagai “al-Wijaa’ “.
Al-Wijaa’ secara bahasa berarti mengebiri yaitu memotong testis agar hilang syahwatnya.[8] Sedang maksud dari matan hadis yang artinya “puasa itu adalah pengebirian baginya” yaitu bahwa puasa adalah salah satu cara untuk mengurangi sahwat birahi. Hal ini dikarenakan syahwat birahi  berbanding lurus dengan syahwat (nafsu) untuk makan, bertambah ketika nafsu makan bertambah dan berkurang ketika nafsu makan berkurang.[9]
Oleh karena itu dapat kita pahami, penyamaan puasa dengan pengebirian adalah sebuah majaz yang mana mengambil persamaan dari keduanya (puasa dan pengebirian) yaitu sama-sama bertujuan untuk memotong nafsu birahi.[10]
D.    Hadits ‘Aisyah tentang Nikah sebagai sunnah Nabi
حدثنا أحمد الأزهر, حدثنا أدم, حدثنا عيسى بن ميمون, عن القاسم, عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّه عَنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الامَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ [11]           
Diberitahukan dari Ahmad al-Azhar dari Adam dari Isa bin Maimun dari al-Qosim dari Aisyah, dia berkata Rasulullah saw. Bersabda: "Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak mau mengamalkan sunnahku,maka dia bukan termasuk golonganku !, sesungguhnya aku (senang) kalian memperbanyak umatku, dan barang siapa (diantara kalian) telah memiliki kemampuan/kesiapan (untuk menikah, maka menikahlah, dan barang yang belum mendapati (pada dirinya kemampuan/kesiapan) maka hendaklah ia berpuasa, sesungguhnya puasa merupakan (seperti) pemotongan hawa nafsu (pengebirian) baginya " (HR. Ibnu Majah)
Hadis diatas diriwayatkan dengan sanad dhaif. Namun hadis tersebut dapat dipakai karena dapat diperkuat oleh riwayat lain yang senada dengannya.
Hadis-hadis lain yang memperkuat riwayat diatas antara lain:
1.      Hadis tentang anjuran menikah yang diriwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Hadis ini diriwayatkan dengan sanad shahih dan substansinya sama dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Aisyah rah.
2.      Hadis  diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Ayub ra. yang artinya:[12]
Rasulullah Saw bersabda: "Ada empat hal yang termasuk sunnah para Nabi: Malu, memakai, wangi-wangian, bersiwak dan menikah"

Pernikahan yang mana merupakan jalan yang menghalalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan didalam Islam, mendapat kedudukkan yang istimewa di dalam Islam yaitu sebagai sunnah nabi saw. Bahkan didalam hadis lain disebutklan bahwa pernikahan adalah sunnah para nabi terdahulu. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw. sendiri dalam sebuah hadis yang diriwayat oleh Tirmidzi dari Abu Ayyub ra. yang kurang lebih artinya:
Rasulullah Saw bersabda: "Ada empat hal yang termasuk sunnah para Nabi: Malu, memakai, wangi-wangian, bersiwak dan menikah"

Kedudukan pernikah sebagai sunnah nabi menunjukkan betapa pentingnya pernikahan itu. Bahkan nabi sendiri melarang keras seorang muslim untuk hidup membujang, sebagaimana sabda beliau ketika ada laki-laki yang memilih membujang agar bisa memaksimalkan hidupnya untuk ibadah yang kurang lebih artinya:
“Saya adalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepadaNya, namun saya melakukan qiyamul lail, kadang pula juga tidak, saya berpuasa, dan saya juga berbuka, dan saya juga menikahi perempuan. maka barangsiapa tidak suka kepada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR Bukhari)
Al-Bukhari meriwayatkan pula sebuah hadis yang menerangkan bahwa buruk-buruknya seorang muslim adalah yang hidup membujang:
Rasulullah SAW. bersabda : "Seburuk-buruk kalian, adalah yang tidak menikah, dan sehina-hina mayat kalian, adalah yang tidak menikah" (HR. Bukhari)
Dan juga hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan Tabrani yang artinya kurang lebih:
Diantara kamu semua yang paling buruk adalah yang hidup membujang, dan kematian kamu semua yang paling hina adalah kematian orang yang memilih hidup membujang (HR. Abu Ya’la dan Thabrani)
Kedudukan nikah sebagai sunnah yang sangat ditekankan Rasulullah sebenarnya tidak lain adalah bertujuan untuk memelihara setiap muslim dalam menjalin hubungan antara lawan jenis. Menjaga mereka agar tidak jatuh kelembah kenistaan dikarenakan melakukan hubungan bebas tanpa ikatan serta menjaga garis keturunannya agar keturunannya kelak dapat lahir dengan terhormat.
Selain tujuan tersebut, didalam matan hadis diatas disebutkan pula bahwa  Rasulullah senang jika kita membantunya untuk memperbanyak umatnya. Oleh karena itu dapat kita pahami bahwa tujuan yang lain dari pernikahan sesama muslim adalah untuk memperbanyak umat muslim itu sendiri. Pernyataan ini senada dengan hadis Rasulullah yang lain yang kurang lebih artinya:
    Rasulullah Saw bersabda: "Nikahilah wanita-wanita yang subur dan penyayang, karena aku berlomba dengan para nabi (untuk menjadi) nabi paling banyak ummatnya kelak pada hari Kiamat" (HR. Abu Dawud).

E.     Kategori Pemilihan Jodoh
Hadits Abu Hurairah tentang kategori pemilihan jodoh
حدثنا مسدّد, حدثنا يحي, عن عبيدالله قال حدثني سعيد بن أبي سعيد عن أبيه عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لارْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ [13]
Diberitahukan dari Musaddad dari Yahya dari Ubaidillah dia berkata Sa’id bin Abi Sa’id memberitahukan saya sebuah hadis dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. dari nabi saw. beliau bersabda “ wanita itu dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena derajat kedudukannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, maka menangkanlah (carilah) yang mempunyai agama, (yang demikian itu) yang dibutuhkan oleh kedua tanganmu (yang dapat menolongmu)” (HR. Bukhari)
tunkahul mar’ah li arba’ ” bukan berarti bahwa empat criteria yang disebutkan didalam hadis diatas merupakan empat criteria yang dianjurkan Rasulullah kepada seorang muslim ketika akan memilih jodohnya. Namun maksud dari lafadz diatas adalah Rasulullah memberitahukan bahwa empat hal yang menjadi kebiasaan laki-laki ketika memilih perempuan.[14]
 Hasab” artinya derajat wanita tersebut. Yang dimaksud yakni garis keturunan yang dimuliakan oleh orang-orang (keturunan bangsawan).[15]
“Taribat yadaaka” sebagian mufassir hadis mengartikan “iftaqarat yadaaka”, artinya membutuhkan. Yakni bahwa wanita yang memiliki agama (akhlak) yang baiklah yang kelak akan kita butuhkan,[16] karena wanita shalihah selalu senantiasa bersedia menemani dan menjaga kehormatan sang suami bagaimanapun keadaannya.
Namun ada keterangan yang menafsiri taribat yadaak adalah seabuah majaz yang berarti “puas” yakni berdasarkan pemaknaan kata taribat berasal dari kata “turaab” yang artinya debu. Sehingga logikanya bahwa orang yang tangan berdebu setelah bekerja akan menepuk-nepukkan tangannya ketika pekerjaan tersebut telah selesai. Kebiasaan seseoarang pekerja yang menepuk-nepukkan tangannya setelah selesai bekerja biasanya merupakan ungkapan kepuasaannya atas keberhasilnya dalam bekerja. Sehingga dalam hal ini pengibaratan kepuasan orang yang dapat menikahi seorang wanita karena agamanya dapat  diibaratkan sebagaimana seorang pekerja yang puas karena telah berhasil menyelesaikan tugasnya.
Dari hadis diatas dapat kita pahami bahwa sudah menjadi rumusan bagi seorang laki-laki memilih wanita adalah berdasarkan salah satu dari empat hal, yaitu:
1.      Hartanya
Berkaitan dengan criteria ini nabi saw. pernah bersabda yang artinya:
“Barang siapa menikahi wanita karena hartanya maka tidak akan bertambah baginya kecuali kefakiran[17]
2.      Derajat (kemuliaan) keluarganya.
Lelaki yang menikahi seorang perempuan berdasarkan kemuliaan saja ini  pun dihinakan oleh nabi sebagaimana sabdanya:
“barang siapa menikah wanita karena kemuliaannya maka tidak akan bertambah baginya kecuali kehinaan”[18]
3.      Kecantikannya
Kecantikan yang dimiliki oleh perempuan kadangkala malah menjadi boomerang bagi si suami. Karena kadang kebagusan rupa seorang istri dapat menimbulkan fitnah bagi si suami apabila si istri tidak dapat menjaga dirinya. Berkitan dengan hal ini rasulullah pernah bersabda:[19]
“Janganlah kamu menikahi perempuan karena kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan menimbulkan kerusakan atas dirinya sendiri. Dan jangan kamu menikahi perempuan karena hartanya, bisa jadi hartanya akan membuatnya sombong. Akan tetapi nikahilah mereka karena agamanya. Sesungguhnya hamba sahaya hitam yang baik agamanya adalah lebih baik” (HR. Baehaqi)
4.      Agamanya (akhlaknya)
Dari keempat kriteria diatas, memilih perempuan untuk dinikahi berdasar agamanya adalah yang dianjurkan oleh nabi saw. Hal ini senada dengan tujuan pernikahan yakni untuk menghasilkan keturunan yang baik pula, yang mana kelak akan menjadi penerus perjuangan agama Islam. Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh rasulullah sebagai keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau. Oleh karena itu, buah yang akan sulit dihasilkan kecuali oleh pohon yang baik pula.
Al Ghazali dalam Ihya’ berkata “nabi menyuruh kita mencari yang beragama bukan maknanya Nabi melarang kita untuk mencari yang cantik, tetapi yang dilarang yaitu mengutamakan yang cantik daripada yang beragama”[20]
F.         Tujuan Pernikahan
Dari uraian ketiga hadis diatas setidaknya kami selaku pemakalah dapat menyimpulkan bahwa diantara tujuan pernikahan didalam Islam yaitu:
1.            Melaksanakan perintah Allah dan Sunnah Rasul.
2.            Ketenangan Jiwa dengan memelihara kehormatan diri (menghindarkan diri dari perbuatan maksiat / perilaku hina lainnya).
3.            Melanjutkan generasi muslim sebagai pengemban risalah Islam.
4.            Mewujudkan keluarga Muslim menuju masyarakat Muslim.
5.            Agar kaya (sebaik-baik kekayaan adalah isteri yang shalihat).

G.     Penutup
  Demikianlah makalah penjelasan tentang hadis-hadis pernikahan, Tentunya banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik serta saran yang konstruktif dari  pembaca sangat kami harapkan, terutama dosen pengampu mata kuliah ini,  untuk membenahi kesalahan yang kami lakukan sebagai kaca perbandingan agar kedepannya menjadi lebih baik. “manusia merupakan tempat salah dan lupa, karena semua kebaikan datangnya dari Allah, maka kami meminta maaf khususnya kepada dosen pengampu, dan umumnya kepada para pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kita semua dimasa mendatang.

Daftar Pustaka

 Abdurrahaman, Jarizi al-, al fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah, juz IV, Mesir, 1969.
Bukhari, Abu Abdullah Muhamad bin Ismail al-, Shahih Bukhari (E-book  tar_iEz@collection), Natata eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software
Darusmanwiati, Aep Syaifullah, Serial Fiqh Munakahat (E-Book Makalah Pengajian Hari Sabtu Sekolah Indonesia Cairo)
ibnu Hajaj, Abu Husain Muslim, Shahih Muslim (E-book  tar_iEz@collection), Natata eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software
ibnu Hajaj, Abu Husain Muslim, Shahih Muslim bi syarhihi al-Musamma Ikmal al-ikmal al-mu’allim juz 5, Dar al-Kitab al-Ilmiyah: Beirut, 1993
ibnu Majah, Abu Abdullah Muhamad, Sunan ibnu Majah (E-book  tar_iEz@collection), Natata eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software
Khazraji, Abu Yahya Zakaria al-, Fatkh al-Alam, Da al-Kitab: Beirut, tt
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang, 1993
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi As-, Mutiara Hadits 5, Semarang: PT. Pustaka rizki Putra, 2003
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia cet III, Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009
 



[1]  Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993), hal 1
[2] Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia cet III, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2009), hal 37
[3]  Jarizi Al Abdurrahaman, al fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah, juz IV, Mesir, 1969. Hlm. 1-3
[4] Abu Husain Muslim ibnu Hajaj, Shahih Muslim (E-book  tar_iEz@collection), Natata eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software, no. 3466
[5] Teungku Muhammad Hasbi As-Shiddieqy, Mutiara Hadits 5, (Semarang: PT. Pustaka rizki Putra, 2003), hal 5
[6] Amir syarifuddin, op. cit hal. 44
[7]Ibid
[8] Abu Husain Muslim ibnu Hajaj, Shahih Muslim bi syarhihi al-Musamma Ikmal al-ikmal al-mu’allim juz 5, Dar al-Kitab al-Ilmiyah: Beirut, 1993, hlm. 9
[9] Abu Yahya Zakaria al-Khazraji, Fatkh al-Alam, Da al-Kitab: Beirut, tt, hlm. 511
[10] Ibid, hlm. 150
[11] Abu Abdullah Muhamad ibnu Majah, Sunan ibnu Majah (E-book  tar_iEz@collection), Natata eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software, no. 1919
[12] Aep Syaifullah Darusmanwiati, Serial Fiqh Munakahat (E-Book Makalah Pengajian Hari Sabtu Sekolah Indonesia Cairo), hlm. 2
[13] Abu Abdullah Muhamad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari (E-book  tar_iEz@collection), Natata eBook Compiler http://natata.hn3.net Copyright 2002-2003 Natata Software, no. 5146
[14] Abu Yahya Zakaria al-Khazraji, Op.Cit, hlm. 513
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta : al Thahiriyah, 1976), hlm. 357 
[18] Ibid, hlm. 358
[19] Ibid
[20] Teungku Muhammad Hasbi As-Shiddieqy, Op.Cit, hlm. 486

Tidak ada komentar:

Posting Komentar