Global Variables

Rabu, 25 April 2012

PERADABAN ISLAM PADA MASA DAULAH UMAYYAH TIMUR

PERADABAN ISLAM
PADA MASA DAULAH UMAYYAH TIMUR

A.    Pendahuluan

Sejarah merupakan bagian penting dari perjalanan sebuah umat, bangsa, negara, ataupun pribadi. Keberadaan sejarah merupakan bagian dari proses kehidupan itu sendiri. Sesungguhnya ia selalu melekat dalam setiap jejak langkah sebuah umat. Begitupun dengan Islam yang mempunyai peradaban yang patut untuk diketahui oleh generasi yang tak ikut serta dalam proses sejarah pada masa lampau untuk kemudian menjadi sebuah media untuk mengambil ibrah.
Islam yang sekarang sampai kita, sesungguhnya telah melewati beberapa proses sejarah dalam bentangan waktu yang tak bisa dibilang singkat. Dalam perjalanan itu ia tidak stagnan begitu saja, melainkan terus berjalan, berdialek dengan berbagai umat di sepanjang zaman.
Di mulai pada masa sang pembawa risalah, Muhammad saw, Islam terus mengalami pasang surut, masa-masa kritis hingga kegemilangan, bahkan tak jarang bersinggungan dengan masalah politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan tentunya agama yang menjadi misi utama datangnya Islam itu sendiri.
Selepas kepergian nabi, khulafa ar-Rasyidin sebagai pemegang tongkat estafet memimpin umat Islam yang selanjutnya jatuh pada tampuk kekuasaan dinasti Umayyah. Dari sinilah konversi model pemerintahan dari demokratis menjadi monarki dimulai.
Pada pembahasan kali ini kita akan mencoba menengok sejarah bagaimana pemerintahan Umayyah yang turut menjadi bagian dari sejarah dan peradaban Islam.

B.     Lahirnya Dinasti Umayyah
Pemerintahan dinasti Umayyah bermula pada peristiwa kekalahan Ali bin Abi Thalib dalam perang shiffin terhadap Muawiyyah yang di dalamnya juga diwarnai dengan peristiwa arbitrase atau tahkim yang kemudian peristiwa itu diketahui merupakan tipu muslihat dari kubu Mu’awiyah. Peristiwa arbitrase tersebut memunculkan golongan Khawarij yang awalnya berada di pihak Ali kemudian menyatakan keluar karena kekecewaan mereka terhadap putusan Ali yang menerima tahkim dari Muawiyyah. Munculnya kelompok Khawarij ini menyebabkan tentara Ali semakin melemah, sementara posisi Muawiyyah semakin kokoh. Akhirnya, pada tanggal 20 Ramadhan 40 H (660 M) Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.[1]
Jabatan Ali sebagai khalifah sempat digantikan oleh putranya, Hasan selama beberapa bulan. Namun, posisi Hasan yang melemah akhirnya disepakatilah sebuah traktat perdamaian yang menandai kembalinya persatuan umat Islam dibawah pimpinan Mua’wiyyah bin Abu Sufyan.[2] Dengan demikian, berakhirlah apa yang disebut masa al khulafa ar-Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Muawiyyah dinobatkan sebagai khalifah di Ilya’ (Yerussalem) pada 40 H/660 M.[3] Dengan penobatannya itu, ibu kota provinsi Suriah, Damaskus, berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam.[4] Muawiyyah memperoleh kekuasaan, kecuali di Syiria dan Mesir, dia memerintah semata-mata dengan pedang. Di dalam dirinya digabungkan sifat-sifat penguasa, politikus, dan administrator. Muawiyyah adalah seorang peneliti sifat manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia. Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin administrator dan politikus paling ahli pada waktu itu, ia merupakan ahli orator ulung.[5]

C.    Pemerintahan Dinasti Umayyah
Memasuki masa kekuasaan Muawiyyah yang menjadi awal kekuasaan dinasti Umayyah, pemerintahan yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun). Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun menurun dimulai ketika Muawiyyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Model pemerintahan ini adalah bentuk copy dari monarchi Persia dan Bizantium.[6] Meskipun demikian, nampaknya sosok pemimpin yang kuat dan cakap seperti Muawiyyahlah yang dibutuhkan umat pada masa itu. Hal ini terbukti dengan keberhasilan dalam mengembalikan persatuan kerajaan yang dicapai Muawiyyah dalam pemerintahannya (661-680 M).
Muawiyyah dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya dipandang negatif. Keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam perang saudara di Shiffin melalui cara yang curang, ia juga dianggap telah menghianati prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam. Namun, di sisi lain kita bisa melihat sikap dan prestasi politiknya yang menakjubkan, ia merupakan seorang pribadi yang sempurna dan pemimpin besar yang berbakat.[7]
Dalam pemerintahannya, Muawiyyah tidak memaksakan pergantian agama dan membangun negara yang efisien. Islam tetap menjadi agama para elit Arab penakluk wilayah negara lain. Orang arab yang belum berpengalaman dalam pemerintahan penjajahan semula mengandalkan keahlian non-Muslim yang pernah mengabdi pada rezim Byzantium dan Persia, tapi secara bertahap orang Arab mulai menggantikan para dzimmi dari posisi-posisi puncak.[8]
Pada abad selanjutnya, khalifah-khalifah Umayyah perlahan-lahan mengubah daerah-daerah yang ditaklukkan pasukan Muslim menjadi kerajaan kesatuan dengan ideologi bersama. Ini adalah merupakan prestasi besar, tetapi di lain pihak, istana mulai mengembangkan budaya dan gaya hidup mewah, sama halnya dengan penguasa lain.[9] Hal semacam ini nampaknya menjadi suatu pilihan yang sangat dilematis, wajar jika di kemudian hari pemerintahan Umayyah mendapat kritikan pedas dari kalangan agamawan pada masanya.
Pada 679, Muawiyyah menunjuk putranya Yazid untuk menjadi penerusnya, serta memerintahkan berbagai urusan provinsi. Ketika itulah ia memperkenalkan sistem pemerintahan turun-temurun yang setelah itu diikuti oleh dinasti-dinasti sesudahnya termasuk Dinasti Abbasiyyah.[10]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Khalifah-khalifah besar dinasti Umayyah adalah Muawiyyah ibn Abu Sufyan (661-680 M), Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M), Walid ibn Abdul Malik (705-715 M), Umar ibn Abdul Aziz (717-720 M), dan Hisyam ibn Abdul Malik (724-743 M).[11]
D.    Ekspansi Wilayah Dinasti Umayyah
Setelah berhasil mengalahkan oposisi, Muawiyyah dengan leluasa mengarahkan energinya untuk menghadapi musuh Islam di sebelah barat laut, Byzantium. Di ‘Akka (Acre), setelah penaklukkan Suriah, ia berhasil menguasai galangan kapal Byzantium dengan segala perlengkapannya, sehingga ia bisa memanfaatkannya untuk membangun angkatan laut Islam. Dalam sejarah maritim Islam, galangan kapal itu merupakan yang kedua setelah galangan kapal di Mesir.[12]
Pemerintahan Umayyah tidak hanya ditandai dengan terciptanya konsolidasi internal, tetapi juga perluasan wilayah Islam. Pada masa pemerintahannya, ekspansi dilakukan ke Afrika Utara yang dipimpin ‘Uqbah ibn Nafi’. Di sebelah timur, pasukan Islam berhasil menaklukkan Khurasan (663-671 M) dari arah Bashrah, menyeberangi Oxus, dan menyerbu Bukhara di Turkistan (674 M).[13] Ekspansi ke wilayah timur ini kemudian diteruskan di zaman Abdul Malik di bawah pimpinan al-Hajjaj ibn Yusuf.[14] Jadi Muawiyyah bukan saja menjadi bapak sebuah dinasti tetapi juga pendiri kekhalifahan setelah Umar.
Sebagai seorang prajurit, kualitas Muawiyyah jauh lebih rendah dari Ali, namun sebagai organisator militer, Muawiyyah adalah yang paling unggul di antara rekan-rekan sezamannya. Ia mencetak bahan mentah yang terdiri atas pasukan Suriah menjadi satu kekuatan militer Islam yang terorganisir dan berdisiplin tinggi. Ia menghapus sistem militer yang didasarkan atas organisasi kesukuan, sisa-sisa peninggalan masa patriarkal kuno.[15] Ia menghapus berbagai sistem pemerintahan tradisional dan mengadopsi kerangka pemerintahan Byzantium, ia membangun sebuah negara yang stabil dan terorganisir dengan baik. Meskipun dari luar terlihat tampak kacau, sebenarnya ia berhasil membangun sebuah masyarakat muslim yang tertata rapi. Hitti dalam bukunya History of the Arabs menyebutnya sebagai orang Islam pertama yang membangun kantor catatan dan layanan pos, yang pada masa Abdul Malik menjadi sebuah institusi rapi yang menghubungkan berbagai wilayah imperium yang luas.
Menurut Prof. A. Syalabi,[16] penaklukan militer di zaman Umayyah mencakup tiga front penting, yaitu sebagai berikut:
1.     Front melawan bangsa Romawi di Asia kecil dengan sasaran utama pengepungan ke ibu kota Konstantinopel dan penyerangan ke pulau-pulau di Laut Tengah.
2.     Front Afrika Utara. Selain menundukkan daerah hitam Afrika pasukan muslim juga menyeberangi selat Giblartar, lalu masuk ke Spanyol.
3.     Front Timur menghadapi wilayah yang sangat luas, sehingga operasi jalur ini melalui dua arah. Yaitu menuju utara ke daerah-daerah di seberang sungai Jihun (Ammu Darya), sedangkan yang lainnya ke arah selatan menyusuri Sind, wilayah India bagian barat.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman al-Walid ibn Abdul Malik. Masa pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan.  Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordova, dengan cepat dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira, dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordova.[17]
Di zaman Umar ibn Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurrahman ibn Abdullah al-Ghafiqy. Ia mulai dengan menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqy terbunuh dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Di samping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan Islam pada masa Bani Umayyah ini.[18]
E.     Gerakan Religius Dinasti Umayyah
Masa pemerintahan Dinasti umayyah walaupun tidak berlangsung lama, namun ia mempunyai keistimewaan dengan adanya sejumlah gerakan-gerakan dalam bidang pemikiran dan gerakan-gerakan revolusioner, yang tidak mendapat peluang dan kesempatan yang cukup untuk lahir pada masa-masa sebelumnya ataupun sesudahnya. Dengan ini, maka masa tersebut merupakan masa yang paling subur bagi bagi revolusi-revolusi yang terjadi pada alam pikiran dan bidang militer.
Terdapat banyak spekulasi untuk menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin umat Islam, apakah ia harus seorang Muslim yang taat, seperti keyakinan kaum Khawarij ataukah orang yang lahir dari keturunan Ali, seperti keyakinan kaum Syi’ah. Anggapan seperti itulah yang menjadi pemula dalam bahasan gerakan religius dalam bukunya Armstrong.
Bersumber dari diskusi politik muncul agama dan keimanan Islam. Al-Qur’an berbicara tentang tauhid dari keseluruhan kehidupan manusia, yang berarti bahwa semua tindakan individual dan institusi negara seharusnya mencerminkan penyerahan diri kepada kehendak Tuhan. Pada tingkat yang sama, dalam sejarah mereka, orang Kristen mengadakan diskusi yang sengit tentang sifat dan kepribadian Yesus, yang membantu mereka mengembangkan pandangan khusus mereka tentang Tuhan, keselamatan, dan kondisi  manusia. Debat intensif mengenai kepemimpinan politik dalam umat setelah perang saudara berperan penting dalam Islam, sama halnya ketika terjadi perdebatan sengit Kristen pada abad ke-4 dan ke-5.[19]
Prototipe dan contoh sempurna kesalihan Muslim baru adalah Hasan al-Bashri (w. 728 M) yang dibesarkan di Madinah dalam lingkungan yang dekat dengan keluarga Nabi dan bertahan hidup setelah wafatnya Ustman. Kemudian dia pindah ke Bashrah, tempat dia mengembangkan spiritualitas yang mencela barang-barang pemuas keduniaan. Dia mencontoh gaya hidup zuhud dari Nabi. Hasan menjadi penceramah paling terkenal di Bashrah, dan gaya hidup sederhananya menyebabkan munculnya kritik tajam terhadap kemewahan istana.[20]
Hasan memelopori reformasi agama di Bashrah, mengajarkan para pengikutnya untuk bermeditasi mendalami al-Qur’an yang mencerminkan perjanjian diri dan penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan yang merupakan sumber kebahagiaan sejati.
Hasan mendukung Umayyah, tetapi ia juga berhak mengkritik bila mereka membuat kesalahan. Dia memilih teologi yang dikenal sebagai Qodariyah, di mana umat manusia diberi kebebasan berkehendak dan bertanggung jawab atas tindakan mereka. Karena itu, para khalifah harus dinilai dari kebaikan mereka dan harus ditindak bila tak mematuhi ajaran Tuhan.[21]
Kaum Qodariyah menerima kekuasaan Umayyah karena dipandang mampu mempertahankan kesatuan umat, karena itu mereka menentang Khawarij yang mengatakan bahwa dinasti Umayyah ingkar kepeda agama sehingga layak untuk dibunuh.[22]
Selain itu juga, ditemukan adanya cikal bakal gerakan-gerakan filosofis keagamaan yang berusaha menggoyahkan fondasi agama Islam. Pada paruh pertama abad ke-8, di Bashrah hidup seorang tokoh terkenal bernama Washil ibn Atha’ (w. 748), yang merupakan murid dari Hasan al-Bashri. Ia merupakan pendiri madzhab rasionalisme kondang yang disebut Mu’tazilah (pembelot, penentang). Mendapat sebuatan itu karena mendakwahkan ajaran bahwa siapapun yang melakukan dosa besar dianggap telah keluar dari barisan orang beriman, tapi tidak menjadikannya kafir. Dalam hal ini orang semacam itu berada dalam kondisi pertengahan antara kedua status itu.[23]
Kaum Mu’tazilah selanjutnya mendominasi lingkungan intelektual di Iraq selama satu abad. Mu’tazilah mengembangkan teologi rasionalistik (kalam) yang menekankan kesatuan dan kesederhanaan Tuhan yang seharusnya direfleksikan oleh integritas umat.
Aliran Murji’ah juga ikut andil dalam penilaian terhadap peristiwa tahkim yang terjadi antara Muawiyyah dan Ali. Merujuk pada akar kata dari Murji’ah itu sendiri, yaitu arjaa yang berarti menunda, aliran ini menunda dalam memberi penilaian terhadap perbuatan manusia. Ini berarti dalam peristiwa tahkim tidak ada hak untuk memberi penilaian.
Anggota yang paling terkenal dari aliran Murji’ah ini adalah Abu Hanifah (699-767), seorang pedagang dari Kufah. Dia telah masuk Islam dan memelopori disiplin baru ilmu fiqih yang akan berpengaruh besar pada kesalehan islamidan menjadi disiplin utama pendidikan tinggi di dunia Muslim.[24]
F.      Masa Keemasan Dinasti Umayyah
Terdapat beberapa bidang yang mampu mengalami kemajuan yang sangat pesat pada masa pemerintahan dinasti Umyyah dan terbukti berjaya membawa kemajuan kepada rakyatnya yaitu:[25]
1.      Dalam bidang pertanian, Umayyah telah memberi tumpuan terhadap pembangunan sektor pertanian, beliau telah memperkenalkan sistem pengairan bagi tujuan meningkatkan hasil pertanian.
2.      Dalam bidang industri, pembuatan khususnya kraftangan telah menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
3.      Dalam bidang keadministrasian, usaha positif yang dilakukan oleh para khilafah daulah Bani Umayyah dalam mensejahterakan rakyatnya ialah dengan memperbaiki seluruh system pemerintahan dan menata administrasi, antara lain organisasi keuangan. Organisasi ini bertugas mengurusi masalah keuangan negara yang dipergunakan untuk gaji pegawai dan tentara serta gaya tata usaha Negara.
4.      Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang
5.      Perlengkapan perang
6.      Dalam bidang peradilan, daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Nabi. Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
7.      Dalam bidang pengembangan peradaban, daulah Umayyah berhasil  mendirikan dinas pos pada masa Muawiyyah
8.      Lambang kerajaan sebelumnya al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya.
9.      Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691 H, Khalifah Abd Al-Malik membangun sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock” (Gubah As-Sakharah).
10.  Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru negeri islam.
11.  Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.
12.  Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Ustman sebagai Amir Al-Bahri
13.  Pada masa Umayyah, (Khalifah Abd Al-Malik) juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
14.  Dalam bidang militer, secara garis besar formasi kekuatan tentara Bani Umayyah terdiri dari pasukan berkuda, pasukan pejalan kaki dan angkatan laut.






G.    Runtuhnya Dinasti Umayyah
Ada beberapa faktoryang menyebabkan inasti Umayyah emah dan membawanya pada kehancuran. Faktor-faktor itu antara lain:[26]
1.      Sistem pergantian khlaifah melalui garis keturunan
2.      Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut Ali ra pada khususnya dan kepada Bani Hasyim pada umumnya
3.      Pertentangan etnis antara Bani Qays dan Bani Kalb yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam makin meruncing sulit untuk menggalang persatuan dan kesatuan, serta memandang rendah kaum muslim yang bukan arab (mawali), sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan
4.      Lemahnya pemerintahan daulah Umayyah yang disebabkan oleh sikap hidup mewah di antara para khalifahnya
5.      Adanya kekuatan baru yang dipelopori oleh turunan al-Abbas, yang mendapat dukungan dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, serta kaum mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintaha daulah Umayyah
Dari kelima faktor tersebut, yang secara langsung menyebabkan runtuhnya kekuasaan Bani Umayyah adalah adanya revolusi besar oleh Abu Muslim. Gerakan ini didukung oleh Ali dan Utsman dari golongan Syi’ah yang ingin menuntut balas atas tewasnya al-Karamani oleh Ibnu Sayyar dalam pertempuran merebut ibu kota Merv tahun 129 H/747 M. Gabungan pasukan Abu Muslim dan golongan Syi’ah ini dapat merebut kembali kota Merv, dan Ibnu Sayyar beserta pasukannya tewas di kota Sawwat tahun 131 H/749 M.[27]
Kota Merv dan seluruh kota Khurasan dikuasai oleh Abu Muslim al-Khurasani, sedangkan penduduk setempat mengangkat sumpah setia, baiat terhadap Abdullah ibn Muhammad yang dikenal dengan Abu Abbas as-Shaffah, pengganti Ibrahim al-Imam yang wafat dalam penjara Bani Umayyah. Semula Ali dan Utsman, dua orang putra al-Khurasani membaiat juga, namun karena terbukti kedua tokoh itu melakukan komplotan rahasia, maka dijatuhi hukuman mati akhir tahun 131 H/749 M. Berita pembaiatan itu mengejutkan khalifah Marwan II. Ketika itu Marwan II baru saja selesai mengamankan pemberontakan di wilayah Armenia dan Georgia, sedangkan ia berada di benteng Harran. Ia kemudian mengutus 120.000 prajurit menuju ke selatan lembah Irak. Bala tentara tersebut mendapat perlawanan dari tentara Bani Abbasiyyah atas inisiatif Abu Oun, kemudian dibantu oleh pasuka besar yang dipimpin oleh Abdullah ibn Ali ibn Abdillah ibn Abbas, paman as-Saffah.[28]
Abdullah ibn Ali memerintahkan saudaranya, Shaleh ibn Ali untuk melakukan pengejaran terhadap Marwan II di Mesir. Pasukan Abbasiyyah tidak mendapat perlawanan yang berarti dan penduduk setempat menyatak kesetiaannya, baiat terhadap as-Saffah, khalifah pertama Bani Abbas. Akhirnya, Marwan II bersama pengiringnya ditemukan di sebuah biara di kota pelabuhan Abusir. Marwan ditangkap dan dibunuh, kepalanya dikirim ke as-Saffah.[29] Dengan demikian, maka berakhirlah dinasti Bani Umayyah di Damaskus dan kekuasaan sepenuhnya di tangan as-Saffah.


H.    Analisis
Terlepas dari polemik yang mewarnai berdirinya daulah Umayyah yang menjadi catatan hitam sejarah, di mana kekuasaan diperebutkan dengan jalan kekerasan dan kecurangan, penulis melihat ada sisi lain dari peristiwa ini. Muawiyyah sebagai pembangun dinasti Umayyah merupakan tipikal pemimpin yang tepat bagi umat yang sedang mengalami perpecahan pada masa itu. Dengan berbekal pengalaman politik serta disokong dengan pribadi pemimpin cakap yang melekat pada dirinya, Muawiyyah mampu mempersatukan umat. Tidak hanya itu, jiwa militer yang ada dalam dirinya juga mampu membawa keberhasilan dalam bidang ekspansi wilayah ke Afrika Utara. Penataan administrasi pemerintahan ditata dengan apik berkat sifat administratornya dengan mendirikan kantor pos dan percetakan mata uang. Dari sini, jelaslah bahwa seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki kecakapan intelejensia semata. Namun lebih dari itu, ia harus memiliki gabungan sifat-sifat seorang pemimpin, politikus, dan administrator sebagai alat pembentukan negara yang kokoh.
Namun di sisi lain, perlu adanya koreksi dalam sistem pemerintahan yang dibentuk oleh Muawiyyah, sistem monarki yang dibangun jelas menghianati prinsip demokrasi yang dijunjung Islam. Dan tentu saja akan sangat tidak tepat jika sistem pemerintahan seperti diterapkan pada masa sekarang.
Kehidupan istana yang mewah dan terkesan foya-foya mendapat sorotan tersendiri oleh rakyatnya, terutama dari kalangan agamawan pada waktu itu. Hal ini mendapat kritikan dari Hasan al-Bashri seorang tokoh aliran Qodariyah.
Dalam kajian historis, gerakan-gerakan religius juga sempat mewarnai masa kepemimpinan dinasti ini. Dan hal ini tentu saja berawal dari peristiwa tahkim. Dari sinilah muncul aliran-aliran dalam Islam yang secara garis besar membincang persoalan dosa besar dan juga berkaitan dengan orang-orang yang terlibat peristiwa tahkim. Kemunculan berbagai aliran-aliran ini juga akibat adanya perdebatan argumentasi antara Kristen dan Islam tentang konsep perbuatan Tuhan.
I.       Penutup
Demikian makalah Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Umayyah Timur ini kami susun, tentunya banyak sekali kekurangan baik dalam penyusunan ataupun penyampaian. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan guna perbaikan di masa mendatang. Semoga bermanfaat.













DAFTAR PUSTAKA
 al-Usairy, Ahmad, 2008. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarata: Akbar
Armstrong, Karen, 2004. Islam A Short History. Surabaya: Ikon Teralitera
Ibrahim Hassan, Hassan, 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang
Ira M, Lapidus, 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
K. Hitti, Philip, 2010. History of the Arab. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Samsul Munir, Amin, 2009.  Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
Syalabi, 1992. Sejarah dan Kebudayaan Islam II. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Syukur, Fatah, 2009. Sejarah Peradaban Islam.  Semarang: Pustaka Rizki Putra
Yatim, Badri, 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers


[1] Lihat Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hlm 40
[2] Ibid
[3] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Jakart: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hlm 235. Dikutip dari al-Thabari, jilid II, hlm 4; bandingkan dengan al-Mas’udi jilid V, hlm 14
[4] Philip K. Hitti, Loc. cit
[5] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm 72
[6]  Badri Yatim, op.cit hlm 42
[7] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009, hlm 118
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Philip K. Hitti, op.cit. hlm 244
[11] Fatah Syukur, Loc. cit
[12] Philip K. Hitti, op.cit, hlm 240-241
[13] Ibid, hlm 241
[14] Samsul Munir Amin, op.cit,  hlm 23
[15]  Philip K. Hitti, op.cit, hlm 242
[16] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989, hlm 124-139
[17]  Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989, hlm 91
[18] Badri Yatim, op.cit, hlm 44
[19] Karen Armstrong, op.cit. hlm 55
[20] Ibid, hlm 56
[21] Ibid
[22] Ibid, hlm 57
[23] Philip K. Hitti, op.cit, hlm 306
[24] Ibid, hlm 58
[25] http://spistai.blogspot.com/2009/03/sejarah-islam-masa-bani-umayyah.html (diakses tanggal 15 Oktober 2011), Lihat Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarata: Akbar, 2008, hlm 186-211

[26] Badri Yatim, op.cit, hlm 48-49
[27] Fatah Syukur, op.cit, hlm 83
[28] Ibid
[29] Lihat M. Masyhur Amin, Dinamika Islam, Yogyakarta: LKPSM, 1995, hlm 89-91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar