Global Variables

Rabu, 25 April 2012

MASLAHATUL MURSALAH

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah menurunkan agama Islam kepada umat-Nya disertai dengan aturan-aturan (hukum). Aturan-aturan (hukum) tersebut dibuat oleh Allah agar manusia selamat hidup di dunia sampai ke akhirat kelak. Agama (Islam) beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah tersebut merupakan wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah tersebut, adakalanya untuk menyelesaikan persoalan hukum yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, namun apabila Allah tidak menurunkan wahyu kepada Nabi atau Rasul untuk menyelesaikan persoalan hukum (tertentu) yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu, maka Nabi melakukan ijtihad, menggali hukumnya (istinbath), kemudian hasil ijtihad Nabi tersebut disebut dengan al-Sunnah (qauliyah, fi’liyah dan taqriyah).
Dengan demikian terlihat bahwa, sumber hukum Islam semasa Nabi Muhammad s.a.w., hidup hanya dua yaitu, al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi sebagai empirisasi dari wahyu Allah. Seiring dengan wafatnya Nabi Muhammad s.a.w., meluasnya wilayah kekuasaan Islam, terpencarnya para sahabat Nabi ke berbagai wilayah, dan banyaknya para sahabat yang gugur dalam pertempuran, maka umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum, karena kadang kala masalah (hukum) yang sedang dihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dan dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, para sahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabat sangat mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad.
Sumber hukum Islam pada masa sahabat hanya tiga yaitu; al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Seiring dengan berjalannya waktu, dan wafatnya para sahabat Nabi, maka otoritas tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in dan seterusnya.  Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat.
Namun karena persoalan hukum yang dihadapi oleh umat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalam al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum di antaranya; maslahah-mursalah atau istislah, Istihsan, qiyas , istishab  dan lain sebagainya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Definisi Maslahah Al-Mursalah
2.      Macam-macam maslahah
3.      Obyek dan klasifikasi maslahah mursalah
4.      Syarat-syarat maslahah mursalah sebagai metode istinbath hukum
5.      Kehujjahan Maslahah Mursalah
6.      Urgensi dan relevansi maslahah mursalah sebagai metode ijtihad

PEMBAHASAN
A.    Definisi Maslahah Mursalah
Maslahah Mursalah menurut lughat terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata maslahah berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu :مَصْلَحَةً -صُلْحًا – صَلَحَ – يَصْلُحُ
Yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Sedangkan kata Mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu : مرسل - ارسالا - يرسل - أرسل
yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam. Suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (bermanfaat).
Menurut istilah Ulama usul ada bermacam-macam definisi yang diberikan diantaranya :
  1. Imam Ar-Razi mendefinisikan sebagai berikut :
بأنها عبارة عن المنفعة التي قصدها الشارع الحكيم لعباده في حفظ دينهم ونفوسهم وعقولهم ونسهم وأموالهم[1]
Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan oleh Musyarri’ (Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendannya.
  1. Imam Al-Ghazali mendefinisikan sebagai berikut:
Maslahah itu sesuatu yang mendatangkan manfa’at dan menjauhkan kerusakan, namum hakikat dari maslahah adalah memelihara tujuan syara’ dalam menetapkan hukum (al-muhafadah ‘ala maqsud asy-syar’i). sedangkan tujuan syara’ itu adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.[2]
  1. Menurut Muhammad Hasbi As-Siddiqi, maslahah ialah:
اْلمُحَافَظَةِ عَلَى مَقْصُوْدِ الشَّارِعِ بِدَفْعِ المَفَاسِدِ عَنْ الخَلْق
“Memelihara tujuh syara’ dengan jalan menolak segala Sesutu yang merusakkan makhluk”.
  1. Al-Khawarizmi (w. 997 H.) menyebutkan,
Maslahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘ala maqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana atau kerusakan atau juga hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluk). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.[3] Tidak jauh berbeda dengan definisi yang diberikan oleh Hasbi ash-shiddiqi di atas.
  1. Menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah mengatakan bahwa
Adalah setiap prisip syara’ yang tidak disertai dengan bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta makna-maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.[4]
Semua pengertian di atas mempunyai tujuan yang sama yaitu, maslahah memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu, menolak madarat dan meraih maslahah.
Atau dapat juga Suatu kemaslahan yang tidak disinggung oleh syara dan tidak terdapat oleh dalil-dalil yang menyeluruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kamaslahatan.
Berdasarkan beberapa buah definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahah-mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan kepada nass tertentu, tetapi berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqosid asysyari’ah).
B.     Macam-macam Maslahah
Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, maslahah dibagi menjadi 3 kelompok:[5]
1.      Maslahah dhoruriyah
Adalah kemaslahatan yang keberadaanya sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang 5 tidak ada.
2.      Maslahah hajjiyah
Adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dhoruri. Bentuk kemaslahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan pokok yang 5, tapi secara tidak langsung menuju kearah sana sepeti dalam hal memberi kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
3.      Maslahah tahsiniyah
Adalah maslahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dhoruri, juga tidak sampai pada tingkat hajji, namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka member kesempurnaan dan keindahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
Dari segi cakupannya, menurut jumhur ulama’ maslahah dibagi menjadi 3:
1.      Maslahah yang berkaitan dengan semua orang
2.      Maslahah yang berkaitan dengan mayoritas orang
3.      Maslahah yang berkaitan dengan orang-orang tertentu atau khusus
Maslahah jika ditinjau dari maksud usaha mencari dan menetapkan hukum, dibagi menjadi 3 yaitu:[6]
1.      Maslahah al-mu’tabaroh
Yaitu maslahah yang diperhitungkan oleh syari’, maksudnya ada petunjuk dari syari’ baik langsung ataupun tidak langsung, yang memberi petunjuk kepada adanya maslahah dalam menetapkan hukum.
2.      Maslahah mulghoh
Yaitu maslahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak diperhatikan oleh syara’ dan ada petunjuk syara’ yang menolaknya.
3.      Maslahah mursalah
Maslahah ini biasa isebut dengan istishlah, yaitu apa yang dipandang baik oleh akal sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’  yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.

C.     Obyek Maslahah Mursalah
Obyek maslahah mursalah terletak pada lingkup hukum syara’ secara umum, dengan memperhatikan adat dan hubungan sesama manusia yang menjadi tujuan pokok untuk mencapai kemaslahatan. Kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumya, tetapi tidak ada satupun nash (al-qur’an dan al-hadis) yang dijadikan dasar, merupakan objek mashlahah mursalah.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa maslahah mursalah itu terfokus pada lapangan yang tidak terdapat dalam nash baik dalam al-qur’an maupun al-hadits sebagai sumber hukum nash atas kejadian yang ada penguatnya melalui I’tibar secara implicit dan juga terfokuskan pada persoalan-persoalan yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
D.    Syarat-syarat maslahah mursalah sebagai metode istinbath hukum
Ulama’ yang berhujjah dengan maslahah mursalah bersikap hati-hati untuk menjadikannya sebagai hujjah, sehingga ia tidak menjadi pintu bagi pembentukan hukum menurut hawa nafsu dan kesenangan. Oleh karena itu, mereka mensyaratkan 3 syarat pada maslahah mursalah yang menjadi dasar pembentukan hukum, yaitu:[7]
1.      Ia harus merupakan suatu kemaslahatan yang hakiki, an bukan suatu kemaslahatan yang bersifan dzan (dugaan). Yang dimaksud disini adalah untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus mendatangkan kemanfa’atan dan menolak bahaya. Sedangkan yang di maksud dengan dugaan disini adalah yang tidak mempertimbangkan bahaya yang akan datang.
2.      Ia adalah kemaslahatan umum, bukan sekedar kemaslahatan pribadi.
3.      Pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan pada nash dan ijma’.
Imam Malik memberikan 3 syarat dalam penggunaan maslahah mursalah agar pemakaian maslahah mursalah dapat membawa manusia, khusunya kaum muslimin pada jalan yang diridlai Allah:
1.      Adanya persesuaian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syara’ (maqasidhus syari’ah)
2.      Maslahah itu harus masuk akal atau rationable, mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran rasional.
3.      Penggunaan dalil maslahah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang terjadi (raf’u harraj lazim) dalam artian seandainya maslahah yang diterima akal itu tidak diambil, maka manusia akan mengalami kesulitan.
Imam Ghazali memberikan 3 syarat juga agar maslahah dapat dijadikan hujjah  sebagai metode istinbhat hukum, yaitu:[8]
1.      Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan syara’
2.      Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
3.      Maslahah itu termasuk dengan kategori maslahah yang dhoruri, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal.
E.     Kehujjahan Maslahah Mursalah
Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah menerima maslahah mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulam’ fiqh yang paling banyak dan luas dalam menerapkannya. Alasan mereka mereka menjadikannya sebagai hujjah, yaitu:
1.      Praktek para sahabat menggunakan maslahah mursalah
2.      Adanya maslahah sesuai dengan maqasid asy-syar’I, yang artinya dengan mengambil maslahah  berarti sama dengan merealisasikan maqasi asy-syar’I, sebaliknya mengenyampingkan berarti meninggalkannya dan hal itu adalah batal.
3.      Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahah, selama dalam konteks maslahah-maslahah syar’iyah orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan.
Adapun ulama’ golongan syafi’iyah, menentang penggunaan maslahah mursalah sebagai hujjah  dengan alasan-alasan berikut:
1.      Maslahah tidak didukung dalil khusus, yang akhirnya akan mengarah kepada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan nafsu yang cenderung mencari keenakan.
2.      Mengambil maslahah tidak berpegang pada nash, terkadang berakibat pada suatu penyimpangan hukum syari’at dan kelalaian terhadap mayarakat dengan dalil maslahat.
Jumhur ulama’ berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah hujjah syar’iyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma’, atau qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara’.[9]
Dalam proses istinbath hukum, sebagian ulama’ dalam memandang kehujjahan maslahah mursalah cenderung mengikuti argument Imam Malik ya’ni dapat diterima dalam hukum islam, selama tidak dilatarbelakangi oleh dorongan syahwat dan hawa nafsu serta tidak bertentangan dengan nash dan maqasidh asy-syari’ah.[10] Alasan mereka adalah:
1.      Hasil induksi terhadap ayat atau hadis yang menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia.
2.      Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan zaman, tempat dan lingkungan mereka sendiri.
3.      Jumhur ulama’ juga beralasan dengan merujuk pada beberapa perbuatan nabi         
F.      Urgensi dan relevansi maslahah mursalah sebagai metode ijtihad
 Maslahah mursalah pada prinsipnya merupakan suatu upaya dalam menetapkan hukum dengan mendasarkan atas kemaslahatan ummah pada keadaan hukum tidak terapat dalam nash atau ijma’, dan juga tidak ada pula penolakan atasnya secara tegas.
Berhujjah dengan maslahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah sesuatu yang rajah, sesuai dengan kefleksibelan dan keabadian syari’at mengikuti perkembangan kebutuhan manusia sepanjang zaman dan dalam kondisii apapun, serta merupakan tindakan yang ditempuh para sahabat Rosululloh dalam menegakkan syari’at dan member fatwa. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu qoyyim, sebagaimana dikutip oleh Abdul wahab khalaf :[11]
“ di antara umat islam ada yang berlebihan dalam memelihara maslahah umum, mereka menjadikan syari’at sebagai hal terbatas yang tidak bisa sejalan menurut kemaslahatan hamba yang memerlukan pada yang lainya. Mereka telah menghalangi dirinya untuk menempuh jalan yang benar berupa jalan kebenaran dan keadilan. Adapun diantara mereka yang melampaui batas sehingga membolehkan sesuatu yang dapat memudahkan syari’at Allah dan menimbulkan kejahatan yang kejam dan kerusakan yang dahsyat ”
Jadi, penggunaan maslahah mursalah selama tidak bertentangan dengan nash yang qath’i, serta bertujuan semata-mata untuk menjaga kemaslahatan umum, boleh dijadikan sebagai salah satu metoe ijtihad untuk menetapkan hukum.

KESIMPULAN
Sebagai akhir dari pembahasan ini, dan juga sebagai kesimpulan, ada beberapa entry point yang perlu diperhatikan
Bahwa definisi Mashlahah Mursalah secara global merupakan penetapan suatu hukum yang menyangkut kepentingan umum, namun tidak ada dalil hukum yang merinci atas persoalan tersebut. Adapun objek kajian maslahah mursalah terfokus pada lingkup kepentingan umum atas kemaslahatan orang banyak, dan kepentingan umumlah yang merupakan pondasi awal dalam formulasi konsep maslahah mursalah sebagai hujjah hukum.
Terkait dengan urgensi dan relevansi konsep maslahah al-mursalah sebagai metode ijtihad kontemporer, dewasa ini merupakan metode yang dianggap langkah legal, seiring dengan semakin kompleksnya problematika kehidupan di masyarakat. Namun dalam aplikasinya harus tetap memperhatikan etika-etika dalam metode ijtihad hukum dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh dalam reaktualisasinya.

PENUTUP
Demikian makalah yang kami sampaikan semoga member manfaat bagi kita semua, meskipun kami sadar bahwa makalah kami ini sangatlah jauh dari ukuran sempurna, maka dari itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian.

DAFTAR PUSTAKA
  • Khallaf, Abdul wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Din utama semarang, 1994.
  • Aibak, Kutbuddin, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Yogyakarta: Puataka pelajar, 2008.
  • Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995.
  • Syafe’I, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka setia, 1999.
  • http://www. Maslahah-mursalah. html


[1] http://www. Maslahah-mursalah. html
[2] Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 2008. Hal.188
[3] Ibid, hal.189
[4] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007. Hal. 120
[5] Op.Cit. Hal. 192
[6] Ibid, hal.195
[7] Abdul wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama semarang, 1994. Hal. 119
[8] Abu hamid al-ghazali, Syifa’ al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad. 1971, Hal. 182
[9] Op.Cit, hal.117
[10] Muhammad Abu Zahrah,, Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995. Hal. 433
[11] Ibid,hal.122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar