Global Variables

Rabu, 25 April 2012

KONSEP-KONSEP DASAR DAN SUMBER – SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

BAB  I
KONSEP-KONSEP DASAR
 DAN SUMBER – SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

A. Konsep-Konsep Dasar
1.      Pengadilan agama adalah tempat di mana dilakukan usaha mencari keadilan dan kebenaran yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa yakni melalui suatu majelis Hakim atau Mahkamah.
2.      Hakim adalah penjabat yang berwenang menghukumi suatu tindak pidana atau suatu pertengkaran dengan menjatuhi hukuman kepada pelaku pidana atau dengan memerintahkan kepada pihak yqang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang terkalahkan untuk mengembalikan hak kepada pihak yang sebenarnya dan menolak kezhaliman. Oleh karena kewenangan  peradilan agama di Indonesia hanya  mencakup segi perdata saja, maka hakim disini bertugas untuk menjatuhkan hukuman pada pihak yang bersengketa perdata saja.
3.      Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius)
            Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan ”putusan hakim peradilan agama” adalah pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di lingkungan Peradilan Agama yang berkekuatan hukum yang sah dalam hal sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan kewenangan Peradilan Agama sebaimana diatur dalam UU No.  7 Tahun 1989 jo UU No. 3 tahun 2006 ”
B. Sumber-Sumber Hukum
            Dasar Hukum Peradilan Agama dan pentingnya keputusan hakim antara lain:
1. Dasar Hukum Al-Qu’ran
a)      QS. Al-Baqarah (1): 30 : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: " Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ". Mereka berkata:" Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman:" Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui ".(9)
b)      QS. Al-Baqarah (1): 231 : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketah (11)
c)      QS. An-Nisa (4) : 58 : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(13)
2. Dasar Hukum Hadist
a)      ”Warta dari Abdullah bin ’Amr menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: ”Tidak halal bagi tiga orang yang berada di tanah lapang,kecuali mereka mengangkat pimpinan salah satu seorang dari mereka” (HR Ahmad) (23)
b)      Dari Abi Said bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: apabila keluar tiga orang dengan maksud hendak bepergian . hendaklah salah satu diantaranya ada yang dijadikan penanggung jawab. (HR. Abu Daud)
c)      Dari Amar bin Ash ra. Bahsanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda: Apabila Hakim menjatuhkan hukum dengan berijtihat dan ijtihatnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala dan kalau dia menjatuhkan hukum dengan berijtihat kemudian ijtihatnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala.

BAB II
KEDUDUKAN DAN PELAKSANAAN HUKUM ISLAM
DALAM NEGARA REBUPLIK INDONESIA

A. Hukum Islam
            Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan merupakan bagian agama Islam. Hukum Islam dasarnya ditetapkan oleh Allah melalui wahyu Nya yang  dijelaskan oleh nabi Muhammad saw sebagai rasulNya melalui sunnah beliau, dasar inilah yang membedakan hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan hasil pemikiran atau buatan manusia belaka.
            Pada pembukaan simposium pembaharuan hukum perdata nasional di Yogyakarta tanggal 21 Desember 1981, menteri kehakiman (almarhum) Ali Said menegaskan bahwa di samping hukum adat dan hukum eks barat, hukum Islam yang merupakan salah satu komponenin tata  hukum Indonesia  menjadi salah satu bahan baku pembentukan hukum nasional Indonesia

B. Pelaksanaan Hukum Islam
            Pelaksanaan hukum Islam di Indonesia dilakukan melalui berbagai jalur
1)      Jalur pertama adalah jalur iman dan takwa, melalui jalur ini pemeluk agama Islam dalam negara Republik Indonesia ini  dapat melaksanakan hukum Islam yang merupakan bagian dan berasal dari agama Islam itu, yang di maksud dalam kaitan ini adalah hukum Islam  bidang ibadah
2)      Jalur kedua yaitu jalur peraturan perundang-undangan
3)      Pelaksanaan hukum Islam bidang muamalah
4)      Melalui BAMUI (badan Arbitrase Muamalah Indonesia) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MU) pusat ini para pengusaha, pedagang dan industriawan atas kesepakatan bersama dapat memilih hukum Islam untuk menyelesaikan sengketa mereka secara damai (di luar pengadilan)
5)      Jalur kelima melaksanakan dalam makna menerapkan hukum Islam dilakukan oleh lembaga pusat penelitian obat/kosmetik dan makanan (LPPOM) yang juga didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia. Lembaga ini menentukan apakah suatu produk obat-obatan, kosmetik, makanan, minuman halal atau haram di konsumsi (dimakan) oleh umat Islam. Penentuan halal haram suatu produk pangan, kelak akan dicantumkan yang dalam undang-undang pangan Republik Indonesia.
6)      Jalur keenam yaitu jalur pembinaan atau pembangunan hukum nasional melalui jalur ini unsur-unsur (asas dan norma) hukum Islam akan berlaku dan dilaksanakan bukan hanya bagi dan oleh umat Islam. Tetapi juga oleh penduduk Indonesia, terutama oleh warga negara RI.


BAB III
SEJARAH PERADILAN AGAMA
 DI INDONESIA


A. Masa (periode) Prapemerintahan Hindia Belanda
            Praktik pelaksanaan hukum acara Peradilan Agama pada waktu itu masih sangat sederhana, yang pada perkembangannya dikenal pembentukannya dalam 3 (tiga) periode yaitu :
1.      Tahkim kepada Muhakam
            Ketika pemeluk agama Islam masih sedikit, wujud Peradilan Agama belum seperti sekarang ini, pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, di antara anggota masyarakat, di selesaikan dengan cara bertahkim kepada guru atau mubaligh yang dianggap mampu dan berilmu agama. Orang yang bertindak sebagai hakim, disebut muhakam.

2.      Masa (periode Ahlul Hilli Wal’Aqdi)
            Ketika penganut agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadhi dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.

3.      Masa (Perode) Tauliyah
            Ketika masyarakat Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam, pengankgatan jabatan hakim (qadhi) dilakukan dengan pemberian “tauliyah” yakni pemberian atau pendelegasian kekuasaan dari penguasa. Pada masa itu terdapat bermacam-macam sebutan atau nama, antara lain sebagai berikut :
a)      Di aceh dengan nama Mahkamah Syari’ah Jeumpa
b)      Di Sumatera Utara dengan nama Mahkamah Majelis Syara
c)      Di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang merupakan bekas wilayah kerjaan Islam, lebih disukai istilah “Hakim Syara” atau “Qadhi Syara”
d)     Di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, karena peran Syeh Arsyad Al Banjari, kerapatan qadhi dan karapatan qadhi besar
e)      Di Sumbawa hakim syara, di Sumatera Barat nama Mahkamah tuan. Kadi, atau angku kali.
f)       Di kerajaan Mataram Pengadilan Surambi, disebut demikian karena tempat mengadilil dan memutus perkara adalah di serambi masjid.  

B. Masa (periode) Transisi
            Pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarikan instruksi agar di daerah yang dikuasai kompeni (VOC) harus diberlakukan hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Instruksi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Sedang masalah hukuman badan dan hukuman mati tidak ditanggapi oleh masyarakat Islam. Berlakunya hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der Indische Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam, atau compendium freijer, untuk dipergunakan pada pengadulan VOC.
            Juga terdapat kumpulan-kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam yang dibuat dan dipakai di daerah-daerah lain, yaitu Cirebon, Semarang, dan Makasar.

C. Masa Pemerintahan Hindia Belanda
            Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der regeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi Regeerings Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat di dalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No. 2. Dalam pasal 75, 78 dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855 : 2 ditegaskan berlakunya undang-undang (hukum) Islam bagi orang Islam Indonesia. Secara rinci, terjemahan dari bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Pasal 75 ayat (3) : “Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan UU Agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia”.
2)      Pasal 75 ayat (4): “UU agama, instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi, bila terjadi pemeriksaan banding”.
3)      Pasal 78 (2) : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut UU agama (godsdienstige weeten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka.
4)      Pasal 109 merupakan penjelasan lebih lanjut dari kedua pasal di atas. Pasal ini berbunyi sebagai berkut : “Ketentuan termaksud dalam pasal 75 dan 78 itu berlaku pula bagi mereka yang dipersamakan dengan “inlander”, yaitu orang Arab, orang Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam dan orang-orang yang tidak beragama.

D. Masa Pemerintahan Hindia Belanda II
            Theorie Receptie : Masa itu terjadi perubahan-perubahan mengenai pasal-pasal RR tersebut. Antara lain atas anjuran C. van Vollenhoven, dan Snouck Hurgrounje. Pada tahun 1925 regering reglement diubah namanya menjadi : IS (Wet Op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie). Dengan Stbl 1925 tersebut. Dan dalam kaitannya dengan lembaga Peradilan Agama, pada tahun 1929 baru diadakan perubahan mengenai isi dari IS, yaitu dengan Stbl. Tahun 1929 No. 221 Pemerintah Hindia Belanda mengubah pasal 134 ayat (2) IS, sehingga dinyatakan bahwa : “Dalam hal terjadi perkara peerdata antara sesame orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.
            Sejak saat itu, bermulalah suatu masa dimana seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai suatu hal yang benar dan biasa saja bahwa hukum Islam itu bukan hukum di Indonesia dan telah tertanam dalam pikiran orang khususnya kalangan sarjana hukum bahwa yang berlaku adalah hukum adat. Dan hanyalah kalau hukum Islam itu menjadi hukum adat barulah menjadi hukum.

E. Masa (Periode) Penjajahan Jepang
            Pada masa pemerintahan Jepang ini lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja, yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
            Meninjau secara ringkas tentang keadaan peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatera adalah termasuk daerah Angkatan Darat yang berpusat di Shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar.

F. Masa Setelah Kemerdekaan Indonesia
1. Tahun 1945 – 1957
            Pada tahun 1946 dikeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang berlaku untuk seluruh Indonesia dengan Undang-undang No. 32 tahun 1954. Namun, peraturan tentang pelaksanaan tugas Peradilan Agama, seperti yang dimaksud dalam undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 belum ada sama sekali.
            Dalam pasal 4 ayat 1 PP No. 45 tahun 1957 disebutkan wewenang Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah adalah, memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan Nikah, thalaq, ruju’, fasach, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) mut’ah dan sebagainya, hadhanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syrat taklik sudah berlaku.
            Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa, Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat 1, kalau untuk perkara-perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam. Uraian lebih lanjut mengenai pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diluar Jawa dan Madura dapat dibaca dan dipelajari H.M. Djamil Latif, dalam buku Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Bab I dan II) serta H. Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia (Bab I dan II).

2. Tahun 1957-1974
            Pada masa itu pemerinah sedang menyusun suatu Undang-undang Perkawinan, yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing. Pasal 2 ayat 2 Perkawinan harus dicatat dalam undang-undang ini tercakup ketentuan Hukum Perkawinan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan enam (6) alasan perceraian, dalam hal ini dicantumkan kembali dalam pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini.
            Dalam pasal 63 ayat 1 ditegaskan bahwa, yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini ialah :
a)      Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
b)      Pengadilan umum bagi lainnya.

            Setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan setalah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, terdapat 16 hal yang merupakan wewenang Pengadilan Agama. Selanjutnya dikeluarkan peraturan Menteri Agama (PMA) No. 3 tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai pencatat nikah.

3. Tahun 1974-1989
            Dengan Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980, nama Pengadilan Agama yang berbeda-beda untuk seluruh Indonesia, di seragamkan dengan sebutan atau istilah “Pengadilan Agama” untuk Pengadilan Tingkat Pertama, dan “Pengadilan Tinggi Agama” untuk Pengadilan Tingkat Banding di seluruh Indonesia.
            Pada tahun 1985 dikeluarkan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal 1 ditetapkan bahwa, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia No. III MPR/1978. Dalam pasal 2 ditetapkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.

4. Tahun 1989-1999
            Setelah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, dikeluarkan tiga peraturan, yaitu :
a)      Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990, tanggal 2 Maret 1990 tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan sesuai pasal 84 ayat 4 UU No. 7 1989.
b)      Surat Edaran Menteri Agama nomor 2 tahun 1990 tentang petunjuk Pelaksanaan UU no. 7 tahun 1989 dan
c)      Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

5.  Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Menurut UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 Serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
            Meskipun ada perubahan terhadap pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, yang menyatakan bahwa secara organisatoris, administrative dan finansial Peradilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung, namun baik sebelum atau sesudah lahirnya UU No. 35 Tahun 1999, Peradilan Agama tidak mengalami perubahan seperti yang ditentukan terhadap lingkungan peradilan yang lain yaitu dalam waktu lima tahun secara bertahap sudah harus berada di di bawah Mahkamah Agung.
            Saat ini pengaturan mengenai struktur organisasi, administrasi dan finansial lembaga Peradilan Agama ke “satu atap” yaitu di bawah Mahkamah Agung telah semakin kokoh dengan keluarnya UU No. 3 tahun 2006 yang mengaturnya lebih lanjut pada Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang berbunyi “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Sedangkan pada pasal 1 angka 6 juga terdapat penyesuaian terhadap bunyi Pasal 12 ayat (1) UU Peradilan Agama tersebut sehingga berbunyi : “ Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.”
BAB IV
KERANGKA HISTORIS PEMBENTUKAN UU No. 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA


A. Latar Belakang Penyusunan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
            Dalam kurun waktu 28 tahun proses pembentukan UU No 7 tahun 1989, dapatlah dibagi kedalam 4 periode penting, yaitu :
1.      Periode 1961 sampai dengan 1971
      Pada masa 10 tahun persiapan intern, dimulai dengan keluarnya UU No 19 tahun 1964 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana dinyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu ruang lingkup peradilan di Indonesia dengan Makamah Agung sebagai puncaknya dan secara organasatoris, administrasi, financial berada pada departemen masing-masing. Pada priode inilah departemen agama menghasilkan dua Rancangan undang-undang, RUU tentang susunan dan kekuasaan agama, dan RUU tentang Acara Pradilan Agama.

2.      Periode 1971 sampai dengan 1981
      Tahap dimana langka-langkah kongrit telah dilakukan secara peraturan perundang-undangan oleh departemen agama dengan dilandasi oleh peraturan UU No. 14 tahun 1970 pasal 10 (1) serta Instruksi presiden no 15 tahun 1970 tentang tata cara Persiapan RUU dan PP pasal 1. atas landasan inilah menteri agama mengajukan 2 draf rancangan undang-undang. Dengan disyahnkannya UU perkawinan, maka kekuasaan peradilan agama diperluas dalam menagani kasus perkawinan. Proses penyiapan RUU PA terhambat oleh proses persiapan RUU peradilan umum dan RUU tentang MA. Pada tahun 1977, MA mengeluarkan peraturan no 1/1977 yang memberlakukan acara kasasi peradilan perdata umum terhadap perkawinan yang berasal dari peradilan agama.

3.      Periode 1981 sampai dengan 1988
      Berdasarkan tata tertip DPR, maka pembicaraan RUU PA melalui tahap-tahap :
o   Pembicaraan tingkat
o   Pembicaraan tingkat 2
o   Pembicaraan tingkat 3
o   Pembicaraan tingkat 4
      Pada tingkat pertama, terjadi perdebatan yang sangat singit, dimana kelompok yang tidak menyetujui RUU PA dibahas mempermasalahkan dasar pembentukan RUU PA berupa UUD 1945 pasal 24 dan pasal 25 serta UU No 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Pada tahap kedua, dimana disampaikannya pandangan umum fraksi-fraksi dan pendapat pemerintah berjalan cukup memadai. Pada tahap ketiga, dibentuknya pansus RUU PA, dan pansus membentuk rencana kerja sebagai persiapan pengesahan RUU PA menjadi UU pada tahap ke Empat. Kemudian pada tahap ke empat, pada tanggal 29 Desemer 1989 RUU PA disahkan.

B. Sistematika UU PA         
            UU No 7 Tahun 1989 terdiri dari 7 Bab dan 108 pasal, dengan susunan sebagai berikut :
1)      BAB I Tentang ketentuan umum Memuat mengenai pengertian, kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam lingkup peradilan agama.
2)      BAB II Mengenai susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi.
3)      BAB III Mengenai Kekuasaan Pengadilan dalam lingkup peradilan agama.
4)      BAB IV Mengatur Hukum Acara
5)      BAB V menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim, panitera dan juru sita.
6)      BAB VI mengenai peraturan peralihaan
7)      BAB VII mengenai ketentuan penutup

C. Beberapa Perubahaan Yang Terjadi Setelah Berlakuknya UU No 7 Tahun1989
            Dengan disahkannya UU No 7 tahun1989, maka terajdi perubahan-perubahan dalam lingkup peradilan agama. Yaitu perubahaan mengenai :
1)      Peradilan agama menjadi peradilan yang mandiri
2)      Seragamnya peradilan agama seluruh RI
3)      Perlindungan terhadap wanita lebih ditingkatkan
4)      Adanya juru sita, dan tidak diperlukannya lagi pengukuhan keputusan dari Pengadilan Umum
5)      Terlaksananya ketentuan pokok undang-undang kehakiman
6)      Terlaksananya pembangunan hokum berwawaskan nusantara.


BAB V
ASAS-ASAS UMUM YANG TERDAPAT DALAM UU NO. 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

A.  Asas Personal Keislaman
                     Diantara asas didalam Peradilan Agama yakni Asas personalita keislaman  dimana yang dapat tunduk dalam kekuasaan lingkungan Peradilan Agama yani hanya mereka yang mengakui pemeluk Agama Islam. Penganut Selain agama Islam atau non Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada lingkungan Pengadilan Agama.



B. Asas Kebebasan
            Dalam hal ini agar hokum dapat ditegakan berdasarkan pancasila, akan tetapi kebebasan kehakiman bukanlah kebebasan yang membabi buta akan  tetapi terbatas dan relative.diantaranya:
·         Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lain,
·         Bebas dari paksaan
·         Kebebasan melaksanakan wewenang judical (peradilan)

C.   Asas Wajib Mendamaikan
Asas mendamaikan dalam Peradilan Agama sejalan dengan konsep Islam yang dinamakan Ishlah. Untuk itu layak sekali para hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan” karena bagaimanapun seadil-adilnya putusan jauh lebih baik dan lebih adil jika perkara diselesaikan dengan perdamaian.

D.     Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan
Sebuah Peradilan apalagi Peradilan Agama yang menjadi harapan masyarakat muslim untuk mencari keadilan, dengan adanya Asas Sederhana , cepat dan biaya ringan akan selalu dikehendaki  oleh masyarakat. Penyelesain perkara dalam peradilan yang cepat, tepat, adil, dan biaya ringan tidak berbelit belit yang menyebabkan proses sampai bertahun-tahun. Biaya ringan artinya biaya yang sederhana mungikin sehingga dapat terpikul oleh rakyat.

E.    Asas Terbuka Untuk Umum
Pelaksanaan siding terbuka untuk umum berarti setiap pemeriksaan berlangsung disidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung, menghadiri, menyaksikan, dan mendengarkan jalanya persidangna tidak boleh dihalangi dan dilarang, maka untuk memenuhi syarat formal atas asas ini, sebelum hakim melakukan pemeriksaan lebih dahulu menyatakan dan mengumumkan ”persidangan terbuka untuk umum”.

F.      Asas Legalitas Dan Persaman
Pengertian makna legalistis pada prinsipnya sama dengan rule of law yakni pengdilan mengadili menurut ketentuan-ketentuan hukum. Karena hakim berfungsi dan berwenang mengerkan roda jalanya peradilan melalui badan pengadilan, semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan, mesti menurut hukum

G.    Asas Aktif Memberi Bantuan
Dalam asas ini hakim hendaknya dapat memberi bantuan secara akif dilihat dari tujuan dari memberi bantuan diarahkan untuk mewujudkan  peraktek peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Ada berberapa masalah formal yang tercakup kedalam objek fingfsi memberi bantuan dan nasihat yaitu:
·         Mebuat gugatan bagi yang buta huruf
·         Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”
·         Menyarankan penyempurnaan surat kuasa
·         Menganjurkan perbaikan surat gugatan
·         Memberi penjelasan alat bukti yang sah
·         Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban
·         Bantuan memanggil saksi secara resmi
·         Memberi bantuan upaya hukum
·         Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi
·         Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian.


BAB VI
SUSUNAN PERADILAN AGAMA DAN
APARATNYA


A. Susunan Oranisasi Pengadilan Agama
            Susunan Pengadilan Agama yang terdapat dalam pasal 9 undang-undang nomor 7 tahun 1989 adalah tidak berbeda dengan susunan pengadilan negeri, yaitu terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama adalah pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris.
1)      Pimpinan
            Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil ketua. Sesuai dengan undang-undang untuk menjadi pimpinan Pengadilan Agama diharuskan mempunyai pengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun sebagai hakim Pengadilan Agama.

2)      Hakim Anggota
            Pada umumnya ketentuan yang menyangkut persyaratan untuk menjadi hakim dan lain sebagainya antara Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Agama adalah sama. Perbedannya misalnya syarat-syarat untuk menjadi hakim agama haruslah beragama Islam sedangkan hakim Pengadilan Negeri tidak harus beragama Islam. Demikian juga dengan syarat pendidikan yaitu Sarjana Syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam.

3)      Panitera
            Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pada dasarnya mempuyai susunan kepaniteraan yang sama, bedanya adalah apabila di Pengadilan Agama seorang panitera harus beragama Islam dan berlatar belakang pendidikan Islam atau menguasai hukum Islam, sedangkan di Pengadilan Negeri seorang Panitera tidak harus beragama Islam. Untuk Pengadilan Tinggi Agama persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi panitera adalah orang tersebut memiliki ijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, sedangkan persyaratan yang lainnya tidak berbeda dengan persyaratan untuk menjadi panitera Pengadilan Tinggi.

4)      Sekretaris
            Sama halnya dengan Pengadilan Negeri, di Pengadilan Agama juga ada sekretaris yang dipimpin oleh seorang sekretaris dan dibantu oleh seorang wakil sekretaris dimana jabatan sekretaris dirangkap oleh panitera pengadilan. Dengan melihat pengaturan ini maka persyaratan untuk menjadi sekretaris adalah sama dengan persyaratan untuk menjadi panitera.

5)      Juru Sita
            Untuk menjadi juru sita, diisyaratkan harus mempunyai pengalaman minimal 5 (lima) tahun sebagai juru sita pengganti, selain itu orang tersebut haruslah Warga Negara Indonesia, beragama Islam, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas. Sedangkan untuk Pengadilan Tinggi Agama tidak memiliki juru sita disinilah letak perbedaan antara susunan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
             

BAB VII
WEWENANG ATAU KOMPETENSI
PERADILAN AGAMA


A. Kompetensi Absolut.
            Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtmacht. Misalnya persoalan mengenai perceraian bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan pasal 63 ayat 1) huruf a UU No. 1 Th. 1974 adalah wewenang pengadilan agama. Sedangkan persoalan warisan, sewa-menyewa, utang-putang, jual-beli, gadai adalah merupakan wewenang pengadilan negeri. Wewenang mutlak menjawab pertanyaan badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili sengketa ini ?

B. Kompetensi Relatif
            Kompetensi Relatif  mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan Agama yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif, yang dalam bahasa Belanda disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah ”yang berwenang Pengadilan Agama di tempat tergugat”. Azas ini dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan ”Actor Sequitur orum Rei”.
            Apa itu tempat tinggal ? dan apa pula yang dimaksud dengan tempat kediaman ? Perbedaan ini perlu dipahami dengan sebaik-baiknya, oleh karena dalam pasal 118 HIR di samping tempat tinggal menyebut pula tempat kediaman.
            Pasal 17 BW menyatakan, bahwa tempat tinggal seorang adalah tempat dimana seseorang menempatkan pusat kediamannya, dan juga tercatat sebagai penduduk. Sedang tempat kediaman adalah dimana seseorang berdiam, mungkin di rumah peristirahatannya di Puncak. Sehingga apabila seseorang pindah tanpa meninggalkan alamat barunya, dan tempat tinggalnya ataupun tempat kediamannya tidak diketaui, maka ia digugat pada pengadilan tempat tinggalnya yang terakhir dan dalam surat gugatan disebutkan ”paling akhir bertempat tinggal , umpamanya di Jalan Kramat No. 15 Jakarta, sekarang alamat tidak diketahui”. Sehingga gugatan diajukan ke Pengadilan Agama di Jakarta.Pusat.


BAB VIII
PROSES ADMINISTRASI DAN PENGAJUAN PERMOHONAN
DI PENGADILAN AGAMA

A. Perkara Cerai Talak

1. Prosedur
a) Langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami / kuasanya) :
1)      Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 66 UU nomor 7 tahun 1989 ).
2)      Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tentang tata cara membuat surat permohonan ( pasal 119 HIR 143 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 ).
3)      Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan tersebut harus atas persetujuan Termohon.

b) Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah :
1)      Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 ).
2)      Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 ).
3)      Bila Termohon berkediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon ( pasal 66 ayat (3) UU no 7 tahun 1989 ).
4)      Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman diluar negeri, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta pusat ( pasal 66 ayat (4) UU no 7 tahun 1989 ).

c) Permohonan tersebut memuat :
1)      Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon.
2)      Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).
3)      Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

2. Penyelesaian Perkara
a)      Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah..
b)      Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
c)      Tahap persidangan;
d)     Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.
e)      Setelah   putusan   memperoleh  kekuatan  hokum  tetap,  maka  panitera  Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

B. Perkara Cerai Gugat

1. Prosedur
            Langkah yang harus dilakukan Penggugat (istri / kuasanya) :
a)      Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 73 UU nomor 7 tahun 1989 ).
b)      Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah tentang tata cara membuat surat gugatan ( pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 ).
c)      Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
d)     Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah :


2. Penyelesaian Perkara
a)      Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah..
b)      Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
c)      Tahap persidangan;
d)     Putusan Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah.
e)      Setelah   putusan   memperoleh  kekuatan  hokum  tetap,  maka  panitera  Pengadilan Agama / Mahkamah Syar’iyah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.

BAB IX
PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ISLAM DAN PRAKTIKNYA
DI PENGADILAN AGAMA


A. Pengertian Pembuktian
            Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan undang-undang.
            Tingkatan keyakinan hakim sebagai berikut:
              1. yakin (terbukti 100%)
              2. zhaan (terbukti 75-99%)
              3. syubhat (terbukti 50%)
              4, waham (terbukti < 50%)
B. Alat-Alat Bukti  Yang Diakui Dalam Pembuktian Menurut Yang Digunakan Di Pengadilan Agama
Alat-alat bukti tersebut sebagai berikut:
1)      Ikrar : pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.
2)      Syahadah : seseorang yang memberikan keterangan di muka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tertentu
3)      Yamin : suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang menberi keterang atau janji  yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya
4)      Riddah : pernyataan seseorang bahwa ia telah keluar dari agama Islam
5)      Maktubah : maktubah ada 2 macam yaitu: akta dan surat keterangan
6)      Tabayyun : upaya perolehan penjelasan yang dilakukan oleh pemeriksaan majelis pengadilan yang lain daripada majelis pengadilan yang sedang memeriksa.

C. Alat-Alat Bukti Yang Digunakan Di Pengadilan Agama

            Alat-alat bukti itu sebagai berikut:
1. Alat bukti surat – surat (tertulis)
            Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan  yang di maksudkan  untuk mencurahkan isi hati atau untuk  menyampaikan  buah pikiran seseorang yang di pergunakan sebagai pembuktian.
            Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam 2 jenis yaitu: surat akta otentik dan surat akta tidak otentik (dibawah tangan)

2. Alat bukti saksi
            Pada prinsipnya, setiap orang dapat menjadi saksi. Namun demikian, untuk memelihara obyektifitas saksi dan kejujurannya, ada orang tertentu oleh Undang-undang tidak dapat diperkenankan menjadi saksi sebagai dasar untuk memutus perkara, karena adanya hubungan tertentu dengan para pihak, atau karena keadaan tertentu orang tidak boleh di dengar sebagai saksi adalah :
  1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah  satu pihak menurut keturunan yang sah
  2. Istri atau suami dari salah satu pihak meskipun sudah  ada perceraian
  3. Anak yang tidak diketahui benar umurnya sudah 15 tahun
  4. Orang gila, meskipun ia kadang-kadang mempunyai ingatan yang terang.
3. Alat bukti persangkaan
            Oleh karena persangkaan itu merupakan kesimpulan belaka, maka dalam hal ini yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan persangkaan itu, melainkan alat-alat bukti lain, yaitu misalnya kesaksian atau surat-surat, atau pengakuan salah satu pihak, yang membuktikan bahwa suatu peristiwa adalah terang ternyata, baru kemudian disimpulkan adanya suatu peristiwa tertentu.
            Persangkaan-persangkaan hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bebas,  yaitu terserah kepada kebijaksanaan hakim, seberapa jauh di akan memberi kekuatan bukti kepada persengketaan-persengketaan yang didapat pada pemeriksaan perkara.

4. Alat bukti pengakuan
Ada tiga macam pengakuan yaitu :
a)      Pengakuan murni : ialah pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan
b)      Pengakuan dengan kualifikasi : ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan.
c)      Pengakuan dengan klausula : adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersipat membebaskan..
5. Alat bukti sumpah
            HIR menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti yaitu :
a)      Sumpah supletoir diatur dalam pasal 155 HIR, 182 RBg dan 1940 BW yaitu sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
b)      Sumpah penaksir. Kekuatan pembuktian sumpah aestimatoir ini sama dengan sumpah supletoir; bersifat sempurna dan masih memungkinkan pembuktian lawan.
c)      Sumpah decisoir atau pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (Pasal 156 HIR/Pasal 183 RBg/Pasal 1930 BW} Pihak yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedang pihak yang harus bersumpah disebut delaat.

BAB X
PRODUK-PRODUK PERADILAN AGAMA
 DAN PELAKSAANNYA


A. Produk-Produk Peradilan Agama
            Ada 3 (tiga) macam produk Hakim yaitu :
1. Putusan.
2. Penetapan.
3. Akta Perdamaian.
            Putusan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontensius)
            Penetapan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (volunteer)
            Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim berisi hasil musyawarah/ kesepakatan antara para pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan berlaku sebagai putusan.

1. Macam dan Jenis Putusan
            Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara ada 2 (dua) macam putusan yaitu :
a)      Putusan Akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan baik melalui semua tahapan pemerikasaan maupun yang belum melalui semua tahapan pemeriksaan.
b)      Putusan sela ialah putusan yang dijatuhkan pada saat masih dalam proses pemerikasaan perkara dengan tujuan memperlancar jalannya pemeriksaan, putusan sela tidak mengakhiri pemerikasaan tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.

            Dilihat dari hadir tidaknya para pihak berperkara pada saat putusan dijatuhkan/diucapkan maka dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu :
a)      Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak hadir dalam sidang dan telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya itu bukan karena halangan yang sah. (Pasal 148 RBg dan Pasal 124 HIR)
b)      Putusan Verstek ialah putusan yang dijatuhan karena tergugat/termohon tidak hadir meskipun telah dipanggil dengan patut dan tidak menyuruh orang lain sebagai wakilnya yang sah serta ketidak hadirannya bukan karena halangan yang sah dan juga tidak mengajukan eksepsi mengenai kewenangan. (Pasal 148 RBg/Pasal 125 HIR)
c)      Putusan Kontradiktoir ialah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri oleh salah satu pihak atau para pihak akan tetapi dalam pemeriksaan penggugat dan tergugat pernah hadir.

            Dilihat dari segi Sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan maka putusan dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam putusan yaitu :
a)      Putusan diklatoir ialah putusan yang menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai suatu yang resmi menurut hukum. Misalnya putusan tentang gugatan cerai dengan alasan ta’lik talak.
b)      Putusan konstitutif ialah putusan yang menciptakan atau menimbulkan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya menetapkan sahnya pernikahan (isbat nikah)
c)      Putusan kondemnatoir ialah putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi. Misalnya Menghukum Tergugat untuk menyerahkan seperdua bagian dari harta bersama kepada Penggugat.

            Dilihat dari Isinya terhadap gugatan putusan terbagi kepada 3 macam yaitu :
a)      Putusan negatif yaitu menolak atau tidak menerima gugatan.
b)      Putusan Positif yaitu mengabulkan atau menerima seluruh isi gugatan.
c)      Putusan Positif-negatif yaitu menerima atau mengabulkan sebagian dan tidak menerima atau menolak sebagian.

2. Susunan dan Isi Putusan
            Putusan Hakim harus dibuat dengan tertulis dan harus ditanda tangani oleh Hakim/Majelis Hakim termasuk Panitera/Panitera Pengganti sebagi dokumen resmi. Suatu putusan hakim terdiri dari :
a. Kepala Putusan
b. Identitas Para Pihak
c. Pertimbangan (konsideran) yang memuat tentang Duduk Perkaranya dan Pertimbangan Hukum
d. Amar atau dictum putusan

Secara detail suatu putusan harus memuat hal-hal berikut :
a)      Judul dan Nomor Putusan (Nomor Putusan sama dengan Nomor perkara)
b)      Khusus putusan/penetapan Pengadilan Agama diawali dengan kalimat :”Bismillahirrahmanir rahiem” dan “Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”
c)      Nama dan tingkat pengadilan yang memutus.
d)     Identitas dan kedudukan pihak-pihak berperkara.(termasuk nama kuasa hukum apabila ada)
e)      Tentang duduk perkara yaitu memuat kronlogis duduk perkara mulai dari usaha perdamaian, dalil-dalil penggugat, jawaban tergugat, replik, duplik, bukti-bukti dan saksi serta kesimpulan para pihak.
f)       Tentang hukumnya yaitu memuat bagaimana Hakim mengkwalifisir fakta atau kejadian dan mempertimbangkanya secara baik dan dasar-dasar hukum yang dipergunakan dalam menilai fakta dan memutus perkara.
g)      Amar putusan yaitu merupakan kesimpulan akhir oleh hakim atas perkara yang diperiksanya, dalam amar putusan memuat juga pembebanan biaya perkara.
h)      Tanggal putusan yaitu memuat hari dan tanggal pengucapan putusan dalam sidang yang dinyatakan dalam akhir putusan.
i)        Hadir tidaknya para pihak ketika putusan dibacakan.
j)        Nama Hakim/Majelis Hakim yang memutus perkara termasuk Panitera/PP.
k)      Rincian biaya perkara.

B. Pelaksanaan Putusan/Eksekusi

1. Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama
            Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) . Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
a)      Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri dihapuskan.
b)     Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-putusannya

2. Jenis-Jenis Pelaksanaan Putusan
Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan,yaitu:
§  Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg
§  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg
§  Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.
§  Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg

3. Putusan Yang Dapat Dieksekusi
            Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu :
Ø Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:
a. Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu
b. Pelaksanaan putusan provisionil
c. Pelaksanaan Akta Perdamaian
d. Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta
Ø  Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan Agama
Ø  Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir
Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi. Putusan kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum
Ø  Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama.






BAB XI
UPAYA BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI

1. Pengajuan Banding
            Pengertian banding ialah permohonan pemeriksaan ulang kepada pengadilan yang lebih tinggi (dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama) terhadap suatu perkara yang telah diputus oleh tingkat pertama (Pengadilan Agama) karena merasa tidak puas atau tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dengan ketentuan sebagai berikut .
a)      Permohonan banding diajukan kepada pengadilan tinggi dalam daerah hukum meliputi pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara.
b)      Permohonan banding diajukan melalui pengadilan yang memutus perkara tersebut.

Syarat-syarat banding;
a)      Diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara.
b)      Diajukan masih dalam tenggang waktu banding.
c)      Putusan tersebut menurut hukum diperbolehkan banding.
d)     Membayar panjar biaya banding.
e)      Membuat akta permohonan banding dengan menghadap pejabat kepaniteraan pengadilan.

Masa Pengajuan banding :
a)      Bagi pihak berperkara yang berada dalam wilayah hukum pengadilan yang memutus perkara adalah selama 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak putusan dijatuhkan atau diberitahukan kepada yang bersangkutan.
b)      Bagi pihak yang berada di luar wilayah pengadilan agama yang memutus perkara tersebut, masa bandingnya selama 30 hari terhitung hari berikutnya isi putusan disampaikan kepada yang bersangkutan. (Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) UU No.20/1947)

2. Pengajuan Kasasi
            Pengertian Kasasi ialah pembatalan putusan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang lebih rendah (pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama) karena kesalahan dalam penerapan hukum.
            Pihak yang tidak menerima atau tidak puas atas putusan pengadilan tinggi agama atau pengadilan agama (dalam perkara volunteer) dapat mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dengan syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat kasasi
a)      Diajukan oleh yang berhak.
b)      Diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi.
c)      Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan tingkat banding menurut hukum dapat dimintakan kasasi.
d)     Membuat memori kasasi.
e)      Membayar panjar biaya kasasi.
f)       Membuat akta permohonan kasasi di kepaniteraan pengadilan agama yang bersangkutan

            Adapun tenggang waktu pengajuan kasasi sama dengan pengajuan banding.
            Apabila syarat-syarat kasasi tersebut tidak terpenuhi, maka berkas perkaranya tidak dikirim ke Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Agama yang memutus perkara tersebut membuat keterangan bahwa permohonan kasasi atas perkara tersbut tidak memenuhi syarat formal. Ketua PA melaporkan ke Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi tidak diteruskan ke MA (Peraturan MARI Nomor 1 Tahun 2001)

3. Peninjauan Kembali.
            Pengertian Peninjauan Kembali ialah meninjau kembali putusan perkara perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena diketemukan hal-hal atau bukti baru yang pada pemeriksaan terdahulu tidak diketahui oleh Hakim. Peninjaun Kembali hanya dapat diperiksa oleh Mahkamah Agung.

Syarat-syarat permohonan PK
a)      Diajukan oleh pihak yang berperkara.
b)      Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c)      Membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.
d)     Diajukan dalam tenggang waktu menurut undang-undang.
e)      Membayar panjar biaya peninjauan kembali.
f)       Membuat akta permohonan Peninjauan Kembali di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
g)      Ada bukti baru yang belum pernah diajukan pada pemeriksaan terdahulu.
            Masa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali adalah 180 hari terhitung mulai ditemukannya novum atau bukti baru dan sebelum berkas permohoan Peninjauan Kembali dikirim ke Mahkamah Agung, Pemohon harus disumpah oleh Ketua Pengadilan tentang penemuan novum tersebut.


BAB XII
BANTUAN HUKUM
 DAN YURISPRUDENSI PERADIALAN AGAMA

A.  Bantuan Hukum

1. Pengertian Bantuan Hukum
            Istilah bantuan hukum terkait dengan profesi advokat. Dalam tata hukum Indonesia istilah bantuan hukum dapat ditemukan dalam Bab I Pasal 1 Poin 9 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Sedangkan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang. Adapun organisasi advokat atau lembaga bantuan hukum adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang. Adapun definisi jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

2. Pemberian Bantuan Oleh Hakim
        Ada berberapa masalah formal yang tercakup kedalam objek fungsi memberi bantuan dan nasihat yaitu:
    • Mebuat gugatan bagi yang buta huruf
    • Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo”
    • Menyarankan penyempurnaan surat kuasa
    • Menganjurkan perbaikan surat gugatan
    • Memberi penjelasan alat bukti yang sah
    • Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan jawaban
    • Bantuan memanggil saksi secara resmi
    • Memberi bantuan upaya hukum
    • Memberi penjelasan tata cara verzet dan rekonvensi
    • Mengarahkan dan membantu memformulasi perdamaian
B.  Yurisprudensi
1. Pengertian Yurisprudensi
            Yurisprudensi adalah keputusan pengadilan/keputusan hakim yang terdahulu terutama dari mahkamah agung (untuk Indonesia). Mengapa yurisprudensi menjadi hokum formal?.Menurut pasal 2 AB JU pasal 14 UU No.14 tahun 1970 yang sudah dirubah dengan UU no.4 tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman menyebutkan,”Seorang hakim dilarang menolak  jika diminta memutuskan perkara dengan alasan karena tidak ada hukumnya”.Tetapi justru ia diminta untuk menemukan hukumnya melalui peradilan.
            Menurut Utrecht ada 3 (tiga) sebab  seorang hakim menurut keputusan seorang hakim lain:
  1. Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah Agung
  2. Di samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka seseorang hakim menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim yang berkedudukannya lebih tinggi. Akhirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia menyetujui isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat.
2. Yurisprudensi Peradilan Agama
            Yurisprudensi Peradilan agama sama makna dan unsurnya dengan yurisprudensi perdialan umum . yang berbeda adalah ruang lingkupnya. Ruang Lingkup Yurisprudensi Peradilan Agama terbatas pada hukum yang menjadi wewenangnya dan hukum acara peradilan agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar