Global Variables

Rabu, 25 April 2012

HUKUM ISLAM PADA MASA KEEMASAN/DAULAH BANI ABASIYAH 750-1258 M

HUKUM ISLAM PADA MASA KEEMASAN/DAULAH BANI ABASIYAH 750-1258 M
I.                   Pendahuluan
Manusia sudah mengenal syari’at (undang-undang ) sejak zaman dahulu kala.Tidak ada satu komunitas manusiapun yang bias lepas dari kenyataan ini, bahkan sebuah peradaban juga memerlukan aturan. Ini karena syari’at dengan segala perangkatnya merupakan perkara penting dan aturan utama yang menjadi kebutuhan demi keberlangsungan hidup manusia sekaligus menjadi kaidah dasar dalam mengatur hubungan sesama manusia, menjadi satu keniscayaan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, menjadi sebuah keharusan untuk menghasilkan pertumbhan dan kestabilan dalam menjalin berbagai hubungan sesame manusia dalam setiap aspek kehidupan.
Sejarah manusia pernah mengenal berbagai bentuk undang-undang yang dimiliki oleh umat-umat terdahulu. Setelah orang Romawi, orang Arab adalah satu-satunya bangsa abad pertengahan yang melahirkan ilmu yurisprudensi, dan darinay berkembang sebuah system yang independen. System tersebut, yang mereka sebut fiqih, pada prinsipnya didasarkan atas al-Qur’an dan al-Hadis, yang disebut ushul (akar/prinsip),   diantaranya undang-undang (syari’at) pada masa Daulah Bani Abasiyah yang mana dipengaruhi oleh system Yunani-Romawi.[1] Pada makalah ini, penulis akan mencoba mengulas tarikh tasyri’ pada masa Daulah Bani Abasiyah, dimana kondisi pensyari’atan ada pada posisi keemasan dunia Islam.



II.                Pembahasan
a.      Kondisi Hukum Islam dan Perkembangannya
Berdirinya Daulah Bani Abasiyah setelah runtuhnya Daulah Bani Umayyah, dinasti ini didirikan oleh Abdullah al-Asaffah,dinamakan khilafah abasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-abas paman Nabi SAW. Kekuasaannya berlangsung dari tahun 132 hijriyah sampai 656 H.[2]
Fiqh Islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini kehidupan, prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi dan duniawi.[3]
Sumber perundang-undangan hokum Islam pada masa ini lebih luas dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Ada sumber yang telah disepakati dan ada yang masih menjadi perdebatan diantara fuqoha’.
Diantara sumber yang telah disepakati adalah al-Qur’an dan as-Sunah dan tidak ada satu orangpun yang berbeda pendapat tentang hal ini. Namun, yang menjadi perbedaan diantara mereka adalah bagaimana memahami dalil yang ada di dalamnya disebabkan banyak faktor, terutama masalah furu’iyyah yang pernah terjadi diantara para sahabat.
Adapun ijma’ dan Qiyas, sebagian besar fuqoha’ mengganggapnya sebagai hujjah dalam menentukan hukum syar’i dan tidak ada yang menentang pendapat ini kecuali sebagian kecil Fuqoha’ saja.[4]
            Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang  dalam sejarah fiqh Islam, dimana ia sudah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha’, selain munculnya para ulama yang membahas setiap bab, memiliki madzhab ijtihad sendiri yang kemudian diberi nama sesuai nama para Imamnya.[5]
Faktor-Faktor Penyebab Kemajuan Fiqh Islam pada Masa Daulah Bani Abasiyah:

1.      Perhatian Khalifah Dinasti Abasiyah terhadap Fiqh dan Fuqoha’
Para khalifah dinasti abasiyah sangat memberikan perhatian kepada fiqh, berbeda dengan daulah bani umayyah yang lebih konsentrasi dengan masalah politik sehingga mereka mampu member corak Islam pada Negara dan menjadikan agama sebagai poros rotasi semua pemerintahan, hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek:
·         Semua undang-undang bersumber dari al_Qur’an dan as-Sunah
·         Memberikan perhatian pada as-sunah sehingga dibukukanlah hadis-hadis
·         Para Khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama’
·         Khalifah meminta fuqoha’ untuk meletakkan perundang-undangan

2.      Perhatian dan semangat tinggi untuk mendidik para penguasa dan keturunannya dengan pendidikan Islam
Para Khalifah mengirimkan putranyya untuk pergi belajar mencari ilmu. Juga terlihat dari adanya lembaga-lembaga pendidikan, seperti maktab, baitul hikmah dll.[6]
3.      Kebebasan berpendapat
Para ulama pada zaman ini mempunyai kebebasan menyatakan pendapat dalam melakukan kajian ilmiah, tidak ada satu penguasapun yang dapat mengikat mereka. Oleh karena itu, mereka melakukan istinbath hokum dari berbagai sumber, mengamalkan dan mengajarkan kepada orang banyak tanpa ada perasaan sungkan jika bertentangan dengan pendapat ahli fiqih lainnya sehingga daklam satu masalah bias ditemukan banyak pendapat disebabkan banyaknya mujtahid.

4.      Maraknya diskusi dan debat ilmiah diantara Fuqoha’
Perdebatan fiqih secara meluas diantara fuqoha’ pada zaman ini telah melahirkan dua fenomena:
·         Kecenderungan fuqoha’ untuk menggunakan metode debatketika mereka menulis buku, dapat dilihat dalam kitab al-Umm yang ditulis oleh Imam Syafi’i.
·         Luasnya ruang lingkup kajian fiqih dan munculnya pendapat-pendapat fiqih sehingga semakin menambah kemajuan fiqih itu sendiri.
Tujuan adanya debat ini adalah agar bias sampai pada kebenaran dan memahami hokum syara’ yang akan menjadi jawaban terhadap masalah yang muncul. 
5.      Banyaknya permasalahan baru yang muncul
Penaklukan yang dilakukan pasukan Islam pada masa ini menyebar luas, para fuqoha’ yang telah menyebar luas ke berbagai negri kemudian menemukan banyak adat istiadat, aturan social, hokum dan ekonomi yang sebelumnya tidak mereka temukan sehingga mereka harus berijtihad untuk menemukan jawaban dan pendapat sesuai syari’at Islam.
6.      Akulturasi budaya dengan bangsa-bangsa lain
7.      Penulisan ilmu dan penerjemahan kitab

b.      Kodifikasi Ilmu Pengetahuan
Fatwa dan qodha’ (keputusan hakim) yang dikeluarkan para sahabat dan tabi’in belum sempat ditulis dan hanya berupa periwayatan. Pemikiran untuk menulis semua itu baru muncul pada akhir zaman bani umayyah ketika para pengikut menulis sebagian fatwa para guru-guru mereka karena takut lupa.
Sejak saat itulah muncul keinginan untuk menulis semua hokum fiqih yang diawali oleh para Fuqoha’ ketika mereka mengumpulkan sebagian fatwa guru mereka dari kalangan sahabat dan tabi’in seperti Aisyah, ibnu Umar, dan Ibnu Abbas. Seperti yang dilakukan oleh Imam Malik dalam kitab al-Muwattha’.[7]
1.      Dinamika Penulisan Fiqih Islam
·         Seorang faqih menulis fatwa dan pendapatnya sendiri
·         Kemudian ia membacakan kepada muridnya, atau mendengarkan muridnya membaca fatwanya.
·         Murid mencatat fatwa-fatwa gurunya
2.      Metodologi Penulisan Fiqih Islam
·         Menulis fiqih bercampur dengan hadis dan atsar (ucapan sahabat), contohnya kitab al-Muwatha’
·         Menulis fiqih yang lepas dari hadis dan atsar (ucapan sahabat), seperti kitab al-Kharaj.
·         Penulisan fiqih beraliran madzhab
3.      Penulisan ilmu Ushul Fiqih
Imam as-Syafi’I adalah orang yang pertama mengumpulkan kaidah-kaidah ushul fiqih dan menyusunnya dalam satu kitab yaitu ar-Risalah. Buku ini merupakan karya pertama yang ditulis dalam bidang ushul fiqih. Beliau mempunyai jasa yang besar dalam pengumpulan aturan ini yang sebelumnya tidak ada dan menjadi satu ilmu yang mandiri.[8]
c.       Pembentukan Madzhab-Madzhab Fiqh
Di permulaan periode Bani Abasiyah lahirlah Imam-imam mujtahid yang kenamaan dari golongan ahli hadis dan ahli Qiyas yang mempunyai pengikut masing-masing dan yang dibukukan fatwa-fatwanya.[9]
Karena perbedaan kondisi sosial dan latar belakang budaya dan pemikiran setiyap wilayah, pemikiran hukum islam berkembang kedalam sejumlah madzhab pemikiran yang berbeda, diantaranya para imam mujtahidin yang muncul pada periode ini adalah imam empat, yang sampai saat ini madzhabnya masih dianut umat Islam.[10]
Madzhab pemikiran irak, misalnya lebih menekankan pada penggunaan pemikiran spekulatif dalam hokum ketimbang madzhab madinah, yang bersandar pada hadis.[11]tokoh paling otoritatif dalam madzhab ini adalah Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Nu’man ibn Tsabit. Abu Hanifah menjadi ahli hokum pertama dan paling berpengaruh dalam Islam. Abu Hanifah sebenarnya bukanlah orang yang pertama mengenalkan, meskipun menekankan, prinsip deduksi analogis yang menghasilkan apa yang kita sebut sebagai fiksi hukum. Ia juga menekankan prinsip “preferensi” atau yang kita sebut istihsan, yang melepaskan pada analogi untuk mengejar keadilan yang lebih besar. Ia menjadi pendiri madzhab hukum Islam yang paling awal, terbesar dan yang paling toleran.
Pemimpin madzhab Madinah yang lebih akrab dengan kehidupan dan pola piker Nabi, adalah Malik ibn Anas penulis kitab al-Muwatha’. Kitab tersebut merupakan kitab hokum Islam  tertua yang pernah ditemukan. Berisi hadis-hadis hukum, menghimpun sunah-sunah Nabi, membuat rumusan pertama tentang ijma’ (konsensus) masyarakat Madinah, dan menjadi kitab hokum madzhab maliki.
Antara madzhab Irak yang liberal dan madzhab Madinah yang konservatif, muncul madzhab lain yang mengklaim telah membangun jalan tengah, menerima pemikiran spekulatif dengan catatan tertentu. Madzhab itu didirikan oleh Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.Ia belajar pada Imam Malik, Madzhab ini juga diikuti oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Madzhab terakhir yang dianut oleh komunitas Islam, selain Syi’ah adalah madzhab Hambali, yang didirikan oleh Ahmad ibn Hanbal, murin Syafi’I dan pengusung ketaatan mutlak terhadap hadis. Konservatisme Ibn Hanbal merupakan benteng ortodoksi di Baghdad terhadap berbagai inovasi kalangan muktazilah. Beliau menjadi korban inkuisisi (mihnah). Karyanya adalah kitab Musnad ibn Hanbal.[12]
d.      Madzhab-madzhab yang Terlupakan
Selain Imam empat madzhab diatas masih ada banyak imam madzhab yang lain, yang terlupakan atau tidak banyak dikenal oleh umat Islam.Contohnya Zahiri, al- Auza’i dan Tsauri.
Pengaruh hukum Romawi-Bizantium, yang selama berabad-abad telah mapan diSuriah, Palestina dan Mesir, tidak terlihat jelas dalam system pemikiran al Auza’i dari Suriah yang tinggal di Beirut.Ia adalah murid Imam Malik bersama dahiri.Nama aslinya al-Auza’I Abu Amr Abd al-Rahman ibn Amr ibn Muhammad (w.157 H).
Al- Dahiri aslinya bernama Dawud ibn Khalaf al Isbahani, dijuluki al Dhahiri karena ia hanya menggambil makna text atau literal al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pegangan.Imam Daud al-Zahiri menolak al-qiyas dan mengajukan al-dalil sebagai cara memehami nash.[13]
Selain itu ada pendiri madzhab yang bernama Sufyan ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri yang wafat tahun 160 H.[14]


III.             Penutup
Demikian tadi makalah mengenai Kondisi dan perkembangan Hukum Islam pada masa Daulah Bani Abasiyah, dimana Hukum Islam pada Waktu itu sedang berada di puncak kejayaannya.
Dari penulisan makalah diatas, dapat penulis simpulkan, sebagai berikut:
1.Fiqih Islam pada masa Daulah Bani Abasiyah sedang mencapai puncak kejayaan karna adanya penghargaan dari khalifah.
2.Kebebasan berpendapat, perbedaan social budaya adat istiadat melahirkan madzhab-madzhab dalam hokum Islam.
3.Pemikiran-pemikiran Madzhab dari periode inilah yang masih diikuti oleh Umat Islam sampai sekarang, contohnya mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut madzhab Syafi’i.
Dalam penulisan makalah ini tentu masih banyak kurangnya, olehkarena itu, kritik dan saran penulis harapkan, guna penyempurnaan pengetahuan bagi penulis khususnya.












DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:Rajagrafindo Persada. 2010
Ibnu Khaldun, Muqoddimah. Beirut:Daar al-Kitab. Tt.
Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:Remaja
      Rosdakarya. 2000
Naim, Ngainun. Sejarah Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta:Teras.2009
K.Hitti, Philip. History of The Arabs. Jakarta:Serambi Ilmu Semesta. 2002
Rasyad Hasan Khalil, Rasyad. Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam.
      Jakarta:Amzah. 2009
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiey, Teungku. Pengantar Hukum Islam.
      Semarang:Pustaka Rizqi Putra. 2001










[1] Philip K.Hitti, History of The Arabs. Jakarta:Serambi Ilmu Semesta. 2002. Hlm.496
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:Rajagrafindo Persada. 2010. hlm.49
[3] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta:Amzah. 2009. hlm.115
[4] Ibid. hlm 114
[5] Ibid.hlm.102
[6] Badri Yatim, Op.Cit. hlm.54
[7] Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hlm. 110
[8] Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hlm.113
[9] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqiey, Pengantar Hukum Islam. Semarang:Pustaka Rizqi Putra. 2001. Hlm.62
[10] Philip K.Hitti, Op.Cit. hlm.497
[11] Ibnu Khaldun, Muqoddimah.Beirut:Daar al-Kitab. Tt. Hlm.372
[12] Philip K.Hitti, Op.Cit. hlm.497-500
[13] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung:Remaja Rosdakarya. 2000. Hlm.126
[14] Jaih Mubarok, Ibid. hlm 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar