Global Variables

Rabu, 25 April 2012

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

HUKUM ISLAM DI INDONESIA
A.    Pendahuluan
a.      Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang penduduknya sangat beragam dari segi etnik, budaya, dan agama. Sedangkan mayoritasnya adalah beragama islam.
Dalam sejarah perkembangan dan keberadaan bangsa Indonesia, baik sebagai komunitas maupun sebagai Negara, hukum sebagai tatanan yang tumbuh dalam masyarakat  turut mendampingi proses historis bangsa Indonesia. Setelah melewati berbagai proses pertumbuhan, mulai dari awal kedatangan islam sampai sekarang ini, hukum islam menjadi faktor penting dalam menentukan dalam setiap pertimbangan politik untuk mengambil kebijaksanaan penyelenggaraan Negara.[1] Oleh karena itu, sangatlah menarik jika kita mengetahui dan sekaligus dapat memahami alur perjalanan sejarah Hukum Islam di Indonesia ini yang meliputi perkembangan hukum Islam pada pra kolonialisme barat, masa penjajahan, pasca kemerdekaan dan juga salah satu bentuk hukum dari dasar-dasar Islam yang terbentuk yang menjadi salah satu pijakan dalam proses pengadilan agama yaitu Kompilasi Hukum Islam itu sendiri.
Namun perlu diingat bahwa proses sejarah hukum Islam tentu diwarnai semacam benturan dengan tradisi sebelumnya dan kebijakan-kebijakan politik kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu. Bahwa sejarah itu menunjukkan proses islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika. Dengan demikian hukum Islam bukanlah sistem yang hanya memiliki satu standar kebenaran yang berlaku sepanjang masa. Hukum Islam tumbuh dan berkembang melalui proses evolusi yang sangat panjang. Jadi merupakan pembakuan dan pemberlakuan yang sebelumnya telah mengalami proses kritik dan dinamika sosio kultural tersendiri

b.      Rumusan masalah
Pada latar belakang yang telah diutarakan di atas, maka dapat dikemukakan tentang pokok permasalahan yang akan di bahas. Pokok-pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
Ø  Sejarah timbul dan berkembangnya Hukum Islam, yang meliputi ;
o   Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada masa pra kolonialisme barat.
o   Perkembangan Hukum Islam Indonesia pada masa penjajahan (Belanda dan Jepang).
o   Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pasca kemerdekaan.
o   Beberapa rangkuman teori-teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia.
Ø  Kompilasi Hukum Islam Indonesia.

B.     Pembahasan
a.)   Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
o   Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada masa pra kolonialisme barat.
Hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah lama hidup di antara masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk, masyarakat Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar agama yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara.
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa antara lain kesulatanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah sulawesi dan maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore.
Hukum islam pada masa ini merupakan sebuah fase penting dalam sejarah hukum islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an. Diaman para pengusa ketika itu memposisikan hukum islam sebagi hukum Negara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena secara teologis ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya. Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti ajaran-ajaran islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenisasi.[2]
o   Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC.
Ketika VOC datang ke Indonesia, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan/Kepala Negara tetap dipertahankan pada daerah-daerah yang dikuasainya. Bahkan dalam banyak hal, VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar lembaga peradilan islam dapat terus berkembang. Bentuk kemudahan yang diberikan VOC adalh menerbitkan buku-buku hukum islam untuk menjadi pegangan para hakim dalm memutuskan perkara. [3]
Dalam menghadapi perkembangan hukum islam di Indonesia, pada mulanya pemeintah kolonial Belanda meneruskan kebijaksanaan yang telah dilaksanakan oleh VOC, mereka tidak menganggap bahwa hukum islam adalah  suatu ancaman yang harus ditakuti. Atas usul Van den Berg dengan teori receptie in complexu yang berkembang dan diyakini kebenarannya oleh pakar-pakar hukum pemerintah colonial Belanda maka dibentuklah Peradilan Agama Indonesia. Kondisi sebagaimana tersebut di atas tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama karena pemerintah Kolonial Belanda mengubah pendiriannya tentang pemberlakuan hukum islam di Indonesia.[4]
Perubahan  pendirian pemerintah Kolonial Belanda ini akibat usul Snouck Hurgronje dengan teorinya yang terkenal dengan teori receptie. Akibat teori ini perkembangan hukum islam menjadi terhambat karena pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang membatasi berlakunya kewenangan peradilan agama.[5]

o   Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan jepang.
Dalam aspek perkembangan hukum masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar. Perkembangan hukum islam masa ini setidaknya dapat dilihat dari keberadaan pengadilan agama. Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No. 1 tahun1992 menyatakan, semua badan pemerintahan beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang.
 Tetapi kemudian ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari soepomo, penasehat departemen Kehakiman ketika itu dan ahli hukum adat. Ia setuju agar hukum islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adat. Tetapi usulannya ini diabaikan oleh jepang karena khawatir akan menimbulakn protes dari umat islam. Kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang untuk tidak mengganggu gugat persoalan agama, sebab tindakan itu dapat merusak ketentraman konsentrasi Jepang. Oleh sebab itu Jepang memilih untuk tidak ikut campur soal urusan agama umat, termasuk hukum islam.[6]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan.


o   Perkembangan Hukum Islam di Indonesia pasca kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan kementerian  Kehakiman kepada kementerian  Agama dengan ketetapan pemerintah Nomor 5/SDtanggal 25 Maret 1946.[7]
Hukum Islam dalam pelaksanaannya di peradilan agama telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 yang menjelaskan tentang Pembentukan Peradilan Agama di Luar Jawa dan Madura dengan berlabelkan nama sebagai Mahkamah Syar’iyyah tingkat pertama di Kabupaten dan juga tingkat banding yang ditempatkan di ibukota propinsi. Dan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman pada pasal kesepuluh yang mengatur adanya peradilan agama disamping peradilan umum. Dan dengan begitu maka hukum Islam telah dianggap berlaku di Indonesia berdasarkan kekuatan hukum Islam yang disandarkan dalam pasal 29 UUD 1945.[8]
Dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 45’ serta di dalam pembukaan UUD 45’, dijelaskan bahwa kedudukan Hukum Islam  telah mantap dan berkembang di Indonesia, karena pada dasarnya Hukum Islam merupakan hukum dari Tuhan Yang Maha Esa yang telah disesuaikan dengan falsafah negara yaitu Pancasila. Sedangkan menurut Noel J Coulson bahwa hukum Islam ini diakui sebagai hukum Tuhan dengan ungkapannya “does not grow out of …an avolving as is the case with system but is imposed from above”. [9]
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka hal itu menunjukkan bahwa hukum Islam semakin berkembang. Dan setelah Indonesia merdeka berdasarkan pasal 29 tahun 1945 diintroduksi satu teori yang dinamakan sebagai receptio a contrario theorie, yang menjelaskan jika hukum adat baru akan berlaku jika telah diterima oleh hukum Islam.

b.)   Teori berlakunya Hukum Islam di Indonesia
o   Teori Receptio in Complexu
Teori Receptio in Complexu adalah memperlakukan hukum islam secara penuh terhadap orang islam karena mereka telah memeluk islam. Belanda-- sejak masa berdirinya VOC tetap mengakui apa yang telah berlaku sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, seperti hukum kekeluargaan islam, hukum perkawinan, dan hukum waris.[10]
Untuk menjamin pelaksanaan hukum tersebut, oleh belanda dikeluarkan peraturan Resolutie der Indische Regeering tanggal 25 mei 1760, yang merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan islam yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer. Dalam Regeerings-reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 dinyatakan bahwa : oleh hakim Indonesia, hendaklah diberlakukan undang-undang agama (Godsdienstige Wetten).[11] Teori Receptio in Complexu dimunculkan oleh van Den Berg, berdasarkan kenyataan bahwa hukum islam diterima secara menyeluruh oleh ummat islam.[12]
o   Teori receptie
Masuknya pemerintah kolonial belanda ke Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam pelaksanaan Hukum Islam, meskipun secara formal hukum Islam tetap diberlakukan. Hal ini didasari oleh adanya kecurigaan dari sebagian pejabat Belanda yang mulai dikemukakan melalui kritik tarhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan. Mereka memperkenalkan het indische adat-recht atau hukum adat Indonesia. Kritik ini dimulai Cornelis Van Vollenhoven (1874-1933). Kemudian dilanjutkan oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) penasehat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal islam dan anak negeri.[13]
Teori receptie mengatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada tidaknya hukum islam.[14]
Muatan pokok teori receptie ini adalah prinsip divide et impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya Hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik pecah belah pemerintah kolonial. Di Aceh, Hurgronje telah berhasil mengkonfrontasikan antara ulama’ dan uleebalang. Musuh kolonialisme, menurutnya bukanlah Islam sebgai agama, melainkan islam sebagai doktrin politik. Ia melihat kenyataan bahwa Islam seringkali menimbulakan bahaya terhadap kekuasaan Belanda. Seperti kata Daniel S. Lev meskipun ia tahu bahwa Islam di Indonesia banyak bercampur dengan kepercayaan Animisme dan Hindu, ia tahu bahwa orang Islam di negeri ini  memandang agamanya sebgaai alat pengikat kuat ynag membedakan diri dari orang lain.[15]
  • Teori Receptie Exit atau Receptio a Contrario
Teori ini mengatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum islam. Jika selama teori Receptie berlaku, adalah sebaliknya, yaitu hukum islam dapat dilaksanakan, apabila diterima hukum adat, maka sekarang hukum adat yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum islam harus dikeluarkan, dilawan, atau ditolak.[16]
Pada tahun 1950 dalam konferensi Departemen Kehakiman di Salatiga Prof Hazairin telah mengarahkan suatu analisis dan pandangan agar Hukum Islam itu berlaku di  Indonesia, tidak berdasar pada hukum adat. Berlakunya Hukum Islam menurut Hazairin supaya disandarkan pada penunjukkan paraturan perundang-undangan sendiri. Sama seperti hukum adat selama ini yang dasar memperlakukan hukum adat  itu sendiri adalah berdasar sokongan peraturan perundang-undangan. Karena itu haruslah dipersiapkan dan dibuatkan perundang-undangan terhadap hal itu.
Pandangan Hazairin tersebut sebenarnya sangat realistis, hal ini sejalan dengan historis-historis seperti di Aceh misalnya masyarkatnya menghendaki agar soal-soal perkawinan dan mengenai harta mereka, kewarisan diatur menurut Hukum Islam. Ketentuan adat dalam upacara perkawinan sejauh tidak bertentangan dengan hukum islam, maka diterima. Di Minangkabau dikenal adagium atau pepatah-petitih adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah (adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah).[17]
Di Minangkabau memang dikenal sistem kekerabatan dengan system matrilineal yaitu suatu sistem kekerabatan bahwa dalam penentuan hubungan kekerabatan dihubungkan dari garis ibu saja. Namun karena pengaruh hukum islam perubahan besar terjadi. Selain itu perubahan sistem ekonomi masyarakat yang semula terpusat pada tanah berubah menjadi ekonomi moneter. Demikian halnya pendidikan modern dan kehidupan merantau orang Minang telah membuka cakrawala baru.  Menurut Amir Syarifuddin telah faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi kekerabatan tersebut adalah pengaruh hukum islam yang menempatkan ayah (suami) sebagai kepala keluarga. Implikasinya komposisi keluarga berubah dari bentuk anak-ibu-mamak dalam extended family yang menjadi ciri khas kekerabatan matrilineal, menjadi keluarga inti (nuclear family) yang komposisinya anak-ibu-ayah sebagai sistem kekeluargaan parental.[18]
Jadi harus diakui bahwa kendati Hukum Islam telah diterima kembali sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat Islam dengan mengeluarkan hukum adat, atau dengan kata lain hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan Hukum Islam, wacana materiilnya terbatas pada hukum-hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Dan dari sinilah kemudian dikenal dengan teori receptie exit atau receptio a contrario.
c.)   Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Pada dasarnya term kompilasi merupakan adopsi dari bahasa inggris compilation atau dalam bahasa Belanda berarti compilatie yang diambil dari kata compilare yang artinya mengumpulkan bersama-sama, misalkan mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar di mana-mana. Lalu istilah inilah (kompilasi) yang digunakan di Indonesia sebagai terjemahan langsung dari kata tersebut.[19]
Namun apabila penggunaan term kompilasi dalam konteks hukum Islam Indonesia, maka biasanya dipahami sebagai fiqh dalam bahasa perundang-undangan yang terdiri dari bab-bab, pasal serta ayat-ayat yang tercakup di dalam nya. Padahal tidak seperti halnya dengan perundang-undangan lainnya yang telah dikodifikasi. Karena kompilasi sedikit berbeda dengan pengkodifikasian. 
Secara faktual Peradilan Agama telah lahir sejak tahun 1882, namun dalam mengambil putusan untuk sesuatu perkara tampak jelas para hakim Pengadilan Agama belum mempunyai dasar pijak yang seragam. Hal itu terutama karena hukum islam yang berlaku belum menjadi hukum tertulis dan masih tersebar di berbagai kitab kuning sehingga kadang-kadang untuk kasus yang sama, ternyata terdapat perbedaan dalam pemecahan persoalan.
Dan dalam rangka mengisi kekosongan hukum dan adanya kepastian hukum dalam memutus suatu perkara, Departemen Agama cq Biro Peradilan Agama melalui surat edaran Nomor B/1/735 pada 18 Februari 1958, yang ditujukan kepada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia untuk dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 kitab fiqih yang sebagian besar merupakan kitab yang berlaku di kalangan mazhab syafi’i. Dan menyadari akan hal itu, maka para pakar hukum Islam berusaha membuat kajian hukum Islam yang lebih komprehensif  agar hukum Islam tetap eksis dan dapat digunakan untuk menyelasaikan segala masalah dalam era globalisasi ini. Dalam kaitan ini prinsip  yang harus dilakksanakan adalah prinsip maslahat yang berasaskan keadilan dan kemanfaatan.[20] Dalam rangka inilah, Busthanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Islam.
Ide untuk mengadakan Kompilasi Hukum di Indonesia ini memang baru muncul sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini adalah merupakan hasil kompromi antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Langkah untuk mewujudkan kegiatan ini mendapat dukungan banyak pihak. Menurut Prof. Ismail Suny, pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKS (Surat Keputusan Bersama) Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam. Yang berarti sudah sedari dini kegiatan ini mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara.[21] Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan Kompilasi Hukum di Indonesia adalah intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 kepada Menteri Agama RI yang mana Kompilasi hukum Islam tersebut terdiri dari Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.[22]
Kelahiran UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, sebenarnya dapat dinyatakan sebagai upaya kompilasi, meskipun pada saat itu namanya tetap undang-undang. Karena bagaimanapun juga UU memiliki daya ikat dan paksa pada sobyek serta objek hukumnya, berbeda dengan kompilasi yang sesuai dengan karakternya. Yang mana hanyalah menjadi pedoman saja, relatif tidak mengikat.
Menurut Ahmad Rofiq bahwa ada 4 produk pemikiran hukum islam yang telah berkembang di indonesia yaitu ; fiqh, fatwa ulama’ (hakim), keputusan pengadilan, dan perundang-undangan[23]. Sebagai ijma’ ulama’ indonesia, Kompilasi Hukum Islam tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para hakim dan masyarakatnya. Karena pada hakikatnya secara substansial kompilasi tersebut dalam sepanjang sejaranhya, telah menjadi hukum positif yang berlaku dan diakui keberadaannya. Karena sebenarnya yang semula yang dimaksud dengan Hukum Islam itu hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqh yang terdapat banyak perbedaaan pendapat di dalamnya, sehingga telah dicoba diunifikasikan ke dalam bentuk kompilasi. Jadi dalam konteks ini, sebenarnya terjadi perbahan bentuk saja yang berasal dari kitab-kitab fiqh menjadi terkodifikasi dan terunifikasi dalam KHI yang substansinya juga tidak banyak berubah selagi hukumnya masih bisa dipakai dalam kondisi lingkungannya sekarang.






C.    Penutup
Demikianlah makalah penjelasan tentang Hukum Islam di Indonesia, Tentunya banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik serta saran yang konstruktif dari  pembaca sangat kami harapkan, terutama dosen pengampu mata kuliah ini,  untuk membenahi kesalahan yang kami lakukan sebagai kaca perbandingan agar kedepannya menjadi lebih baik. “manusia merupakan tempat salah dan lupa, karena semua kebaikan datangnya dari Allah, maka kami meminta maaf khususnya kepada dosen pengampu, dan umumnya kepada para pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini bermanfaat bagi kita semua dimasa mendatang.


















Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo. 1992.
Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,  Jakarta : Gema Insani Press, 1996.

Al-Munawar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : PT. Penamadani, 2004.
Coulson, Noel J.. The Concept Progress and islamic law, dalam Robert N. Bellah (ed.), Religion and Progress in Modern Asia. 
Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Ciputat Press, 2005.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ramulyo, Moh. Idris,  Asas-asas Hukum Islam, sejarah timbul dan berkembangnya kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia.

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998.











[1] Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta : PT. Penamadani, 2004, hal 10-11
[2] Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Ciputat Press, 2005, hal 49
[3] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007, hal 1-2
[4] Ibid. hal 2
[5] Ibid. hal 2-3  
[6] Abdul Halim. Op.cit, hal 71 -73
[7] Ibid. hal 71-72
[8] Moh. Idris Ramulyo,  Asas-asas Hukum Islam, sejarah timbul dan berkembangnya kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia, Hal 58
[9] Noel J. Coulson. The Concept Progress and islamic law, dalam Robert N. Bellah (ed.), Religion and Progress in Modern Asia, Hal 75   
[10] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,  Jakarta : Gema Insani Press, 1996, Hal 131
[11] Said Agil Husin Al-Munawar. op. cit, hal 11
[12] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1998, hal 13
[13] Ibid. hal 16
[14] Ibid.  hal 16-17
[15] Ibid. hal 17
[16] Ibid. hal 20-21
[17] Ibid. hal 22
[18] Ibid
[19] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo. 1992. Hal 11
[20] A bdul Manan. Op. cit, hal 178.
[21] Ibid. hal 33
[22] Amrullah Ahmad. Op. cit, hal 12
[23] Ahmad Rofiq. Op. cit, hal 25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar